OPINI: Dekadensi Penegakan Hukum Pertambangan di Indonesia

117

SULSELBERITA.COM. —

Oleh : Hendro Nilopo
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra)

Advertisement

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah. Terkhusus untuk kategori Mineral Logam dengan komoditas nikel. Hal itulah yang kemudian menjadi daya tarik bagi investor, baik skala nasional maupun international untuk berlomba-lomba berinvestasi di negeri ini.

Menurut data yang ada, indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia yakni mencapai 21 Juta MT. Namun selain sorotan dibalik kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki negeri ini, ada hal lain yang juga menjadi sorotan oleh negara luar. Yaitu, masalah pertambangan dan kerusakan yang ditimbulkannya pada kehidupan manusia dan lingkungan sekitar serta penegakkan hukumnya yang dianggap masih sangat jauh dengan tujuan di bentuknya undang-undang sebagai pedoman pengelolaan sumber daya alam yang baik bagi setiap pengelolanya.

Berbagai aturan yang berkaitan dengan aktifitas pertambangan nikel nampaknya belum di jalankan dengan maksimal oleh para pemangku kebijakan. Hal tersebut terlihat dengan masih berlakunya kebijakan di atas aturan perundang-undangan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam di Negeri ini. Sehingga hal tersebut menurut penulis, adalah pemicu terjadinya dekadensi (Kemerosotan) penegakkan hukum khususnya di bidang pertambangan.
Agar coretan ini bisa di pahami secara eksplisit, maka penulis akan menguraikan beberapa kasus atau persoalan pertambangan yang menurut penulis, jelas telah melanggar ketentuan perundang-undangan namun bisa lolos begitu saja dari jeratan hukum dengan mengandalkan adanya kebijakan di atas aturan.

Dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) mengatur bahwa : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (“IPPKH”) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Menurut penulis penjabaran pasal 50 ayat (3) huruf g sudah sangat jelas bahwa setiap orang di larang melakukan aktifitas di dalam kawasan hutan negara tanpa terlebih dulu mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari pemerintah. Sementara itu di tegaskan lagi sanksi pidana  :  Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan sedangkan untuk sanksi administratif sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.

Namun aturan yang jelas itu lagi-lagi menurut penulis hanya sebuah peringatan yang tidak di barengi dengan implementasi penegakkan hukum yang efektif. Sebab masih terdapat banyaknya perusahaan pertambangan yang di duga telah melanggar ketentuan sebagaimana telah di jelaskan secara eksplisit di atas tetapi bisa lolos dari jeratan hukum dengan modal kebijakan oleh pemangku jabatan yang penulis nilai hanya menguntungkan sebagian golongan dari pemangku kebijakan itu sendiri.

Dengan adanya fakta-fakta di atas, penulis berkesimpulan dan meyakini selama masih berlaku yang namanya kebijakan di atas undang-undang terkait implementasi penegakkan supremasi hukum di bidang pertambangan di negeri ini, maka pengelolaan sumber daya alam dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undang sebagaimana yang di harapkan oleh para pendahulu negeri ini tak akan pernah terlaksana dengan maksimal.

Mungkin setelah membaca coretan ini, banyak orang yang akan bertanya seperti apa atau bagaimana contoh yang di maksud dengan ‘Kebijakan di Atas Aturan’ itu?……To Be Contunue

 

Perwakilan Sulawesi Tenggara ( HNR ANDRI (