Oleh : ALUMNUS ZAINUDDIN. (Peneliti di LKIS Institute).
SULSELBERITA.COM. - Sejarah memang tak pernah lupa, ada fase satu negara makmur karena sumber daya alam dan manusianya sejalan dalam proses pembangunan. Ada bangsa yang makmur karena kepemimpinan dari negaranya. Ada pula satu negara yang makmur karena kesadaran politik dan hukumnya yang demikian tinggi katakanlah Norwegia dan Belanda yang sejumlah rumah tahanan gulung tikar karena tindak kriminal yang semakin berkurang.
Fenomena ini tentu menjadi gambaran bahwa satu bangsa sejatinya dibangun dari fondasi kultural yang kuat. Budaya yang tak pernah bohong demikian pula sejarah. Taiwan, Meksiko dan beberapa negara lainnya perkara kejahatan dalam bidang pemerintahan dan politik dianggap satu peristiwa yang "hitam" dalam panggung kekuasaan. Lagi-lagi saya meminjam istilah *Sigmund Freud* dalam narasi *Naluri kekuasaan* yang di tulis oleh *Calvin S Hall* seorang ortidoks dari Inggris. Ia mendalihkan bahwa satu kejahatan terjadi karena *kecemasan moral* bergeser menjadi *kecemasan neurotic*, kecemasan syaraf yang telah mendorong seseorang melakukan *crime of power*. Baginya disebut sebagai satu kejahatan yang bersetubuh dengan syaraf alias kegilaan.
Nah, perkara korupsi tentu menjadi bagian dari kejahatan bersetubuh itu. Sebagai negara dunia ketiga, Indonesia yang terus membangun agenda demokrasi sangat mungkin menghadapi tantangan yang demikian besar. Termasuk menghadapi perilaku *corruption*. Korupsi selalu bersinggungan dengan perilaku dan kesempatan. Fenomena korupsi sepertinya menjadi "drama telenovela", yang menampilkan satu keluarga kaya yang memiliki seabrek peternakan dan kekayaan dan dijaga oleh para algojo. Perilaku demikian seperti merangsek masuk dalam jejaring birokrasi.
Sejarah orde baru yang berkuasa kurang lebih 32 tahun lamanya menjadi wajah buram pemerintahan, KKN menjadi catatan kelam sejarah orde baru. Kemuduan berganti rezim menjadi rezim *Reformasi* walau sedikit tercatat gagal kurang lebih 19 tahun yang terjadi adalah "change without change" yakni perubahan tanpa perubahan.
Kegagalan reformasi justru tak berarti kejahatan birokrasi berhenti, justru KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), bergeser menjadi NKK (Nolong Kawan-kawan dan Keluarga). Malah ini jauh lebih buram dari KKN. Proses berpolitik yang dianggap demokratis seperti Pilkada yang dihelat sejak 2005 yang lalu tentu menyisakan berbagai hal baik itu yang positif maupun yang negatif.
Undang-undang Otonomi Daerah, dari awal dianggap sebagai peretas kebuntuan demokrasi yang feodalisme yang selama ini menggurita dalam struktur kehidupan pemerintahan yang cendrung sentralistik. Oleh karena itu, kehadiran otonomi daerah justru melahirkan "eforia politik" dan melahirkan tradisi baru dengan munculnya "raja-raja baru" di daerah. Apakah ini akan memutus mata rantai korupsi ? jawabannya tentu tidak.
Tidak sedikit fakta menyisakan bahwa sejak Pilkada dilaksanakan kurang lebih 360 kepala daerah tersandung korupsi. Itu berarti korupsi bukan sekedar penyelewengan kekuasaan, tetapi korupsi sudah menjafi "subkultur" dari bergesernya moralitas menuju perilaku yang tidak etis. Karenanya, institusi negara seperti KPK terus mengalami pembonsaian baik secara politis maupun secara kultur dari luar arena kekuasaan.
Massifnya kejahatan korupsi terus bergerak menuju perilaku kleptokrasi. Ciri ini ditandai dengan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan dengan cara berkelompok atau yang dikenal dengan sebutan "korupsi.berjamaah'. Perilaku "crowd" dengan naluri kekuasaan maka berkecendrungan melahirkan mata rantai korupsi yang berujung pada perilaku kleptokratis.
Maka ada banyak.jalan untuk memutus perilaku ini yaitu dengan membangun kesadaran kolektif bahwa korupsi dan kleptokrasi adalah bencana kemanusiaan.
oleh : *ALUMNUS ZAINUDDIN* Peneliti di LKIS Institute.