Menyoal Komunikasi Jokowi Sebagai Presiden

89

SULSELBERITA.COM - Untuk mengetahui kondisi negara saat ini, pernyataan dan bahasa dari jokowi adalah rujukan paling utama. Baik itu pernyataannya secara langsung di siaran televisi dan akun sosial medianya, maupun pernyataannya yang secara tidak langsung yang disampaikan oleh kanal-kanal media online. Sebagai seorang presiden, pernyataan Jokowi mengandung implikasi kebijakan yang akan diambil dan masalah apa yang sedang dihadapi oleh negara. Maka dari itu pernyataan Jokowi memang harus sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.

Kesesuaian dengan fakta di lapangan sangat penting sebab implikasinya akan berdampak pada bagaiamana masyarakat menyikapi dan bertindak pada kehidupan sehari-hari mereka. Jokowi ibarat pemandu wisata bagi rakyatnya. Selain itu juga, pernyataan yang sesuai dengan fakta akan menimbulkan perasaan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan mengikis kesenjangan komunikasi yang biasa terjadi anatara keduanya.

Advertisement

Apalagi di masa sekarang, di masa krisis pandemi covid 19, tentunya peran dan pernyataan Jokowi sebagai presiden akan sangat ditunggu dan dinantikan oleh masyarakat. pernyataan itu ditunggu, sebab akan menjelaskan tentang kebijakan apa yang akan diambil pemerintah untuk menangani penyebaran dan dampak dari covid 19 ini. Tentu dengan pernyataan yang bisa diandalkan, perasaan legah akan muncul dan perasaan cemas akan menghilang.

Namun jika kita menilik pernyataan-pernyataan Jokowi dari awal pandemi ini berlangsung, maka kita akan melihat banyak pernyataan yang kontradiktif dengan kondisi nyata yanga ada dan dengan pernyaataan lain dari Jokowi sebelum dan sesudahnya. Pernyataan-pernyataan itu bisa sangat gamblang kita lihat dan analisis di akun sosial media pak jokowi serta berita-berita dari media online yang banyak mengutip pernyataan pak Jokowi. Kita tidak perlu memilki kemampuan analisis yang tinggi, kita hanya perlu mencari informasi lanjutan untuk membuktikan apakah pernyataan itu kontradiktif atau tidak. Dan itu akan sangat mudah didapatkan dari jejak-jejak digital yang ada.

Beberapa pernyataan bahkan menjadi polemik yang ramai, seperti pernyataanya saat diwawancarai oleh Najwa Shihab soal pelarangan mudik, beliau mengatakan kami melarang mudik tapi memperbolehkan pulang kampung, yang pada dasarnya kedua aktifitas tersebut subtansinya sama dan memiliki potensi yang sama menjadi katalisator penyebaran covid 19. Tapi Jokowi tetap bersikukuh membedakan kedua kata itu.

Pernyataan selanjutnya adalah pernyataan berdamai dengan covid 19 yang bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang dimana Jokowi menegaskan untuk berperang melawan virus ini dan juga pernyataan ini bertentangan dengan kondisi nyata penyebaran virus ini yang masih tidak terkendali. Pernyataan ini, oleh beberapa pihak-termasuk saya pribadi- sangat dipermasalahkan sebab angka peningkatan kasus positif di Indonesia masih sangat tinggi dan dengan melakukan kebijakan seperti itu akan sangat konyol dan kontraproduktif. Mungkin berbeda ceritanya andaikan angka penyebaran virus ini sudah terkendali seperti di Vietnam dan Australia.

Pernyatan-pernyataan lainnya seperti pelarangan mudik, tapi bandara dan tranportasi massal tetap dibuka, kemudian juga dikatakan bahwa pemerintah tidak akan melonggarkan PSBB tapi nyatanya mal dibuka dan pasar-pasar tetap terbuka tanpa adanya proteksi protocol covid didalamnya. Semua pernyataan ini seperti bahasa yang tidak bermakna, seperti bahasa yang sengaja diproduksi untuk kondisi kebalikan. Tapi kemudian, pertanyannya, kenapa Jokowi bisa melakukan kesalahan komunikasi yang begitu sering seperti ini? Apakah ia tidak sadar? Ataukah justru semua ini adalah upaya yang sadar?

Dalam analisis Marx, seorang Sosiolog berkebangsaan Jerman, kelas penguasa digambarkan akan selalu memproduksi bahasa-bahasa yang akan membuat orang-orang dari kelas yang dikuasai tertindas dan akan selalu menciptakan kesadaran palsu pada mereka agar mereka tidak menyadari keadaan yang sebenarnya dan melawan penindasan yang ada. Intinya bahasa-bahasa dari penguasa itu ada untuk mempertahankan penindasan dan status quo yang ada.

Dengan bertolak dari analisis itu, kita bisa berpendapat bahwa bahasa-bahasa itu sengaja diciptakan untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu sebagai pihak yang berkuasa. Pihak yang berkuasa bukan saja cuman Jokowi semata, tetapi bebearapa orang yang ada dibelakang Jokowi, yang memberikan modal kepadanya untuk jadi presiden adalah juga termasuk kelas penguasa. Jadi tak heran jika kebijakan dan pernyataan jokowi adalah perpanjangan tangan dari keinginan sekelompok orang tersebut.

Kebijakan pelonggaran PSBB bisa saja kita baca sebagai upaya untuk menyelamatkan para pebisnis besar yang terancam runtuh dan kehilangan kesempatan mengakumulasi modal dari adanya kebijakan pembatasan pandemi ini. Pembatasan saat pandemi ini membuat pendapatan mayoritas masyarakat menjadi menurun, sehingga daya beli mereka juga menurun dan alhasil komsumsi juga menurun. Menurunnya konsumsi menurut Magdoff dan Foster-seorang Ahli Ilmu Tanah dari Universitas Vermont dan Seorang Sosiolog dari Universitas Oregon- adalah sebuah kondisi yang sangat tidak diinginkan oleh para kapitalis, sebab hal itu akan memperlambat proses produksi laba dan modal yang membuat perkembangam menjadi stagnan. Singkatnya kapitalisme membutuhkan kita sebagai objek pasar untuk dieksploitasi demi akumulasi kapital. Dan itulah tujuan utama yang implisit PSBB dilonggarkan.

Maka dari itu, menyoal dan menyikapi pernyataan-pernyatan Jokowi yang sering kontradiktif harus diletakkan pada konteksnya. pada adanya kepentingan tertentu yang memproduksi secara sadar bahasa-bahasa dari pernyataan itu. Kemudian pernyataan itu harus kita imbangi dengan melakukan interupsi dan koreksi terhadap kebohongan-kebohongan dari bahasa itu. Kita bisa melakukan itu karna kita punya hak berpendapat di muka umum. Dengan hak itu kita bisa melindungi hak-hak kita yang lain. hak kita sebagai warga negara.

Penulis : Makmur Mahasiswa Sosiologi FIS UNM

"Tulisan tanggung jawab penuh penulis"