Opini: 22 Juni Sebagai Momentum Refleksi

211

Oleh: Achmad Qadry Ashary

SULSELBERITA.COM. 76 tahun telah berlalu pasca pertemuan sembilan tokoh yang dianggap representatif untuk merumuskan dasar negara yang kemudian melahirkan satu konsensus bersama yang kita kenal dengan nama Piagam Jakarta, meski pada akhirnya terjadi penghapusan 7 kata yaitu “dan kewajiban ummat Islam untuk menjalankan syariatnya” yang kemudian lahirlah dasar negara baru pada tanggal 18 Agustus 1945 yang isinya sama dengan Piagam Jakarta kecuali tujuah kata yang telah dihapus tadi. Persitiwa bersejarah itu tepat terjadi pada tanggal 22 Juni 1945, meski sudah beralalu selama 76 tahun, namun bangsa ini harus tetap mengenang persitiwa tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1966 “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah)”.

Piagam Jakarta seharunya kita maknai bukan hanya sekedar ceremony yang berulang setiap tanggal 22 Juni yang kemudian hampa dengan ruh-ruh perjuangan, 22 Juni seharusnya kita maknai sebagai momentum untuk memperisapkan dan men-charger kembali semangat kita unutk memperjuangkan nilai-nilai Islam, baik dari tatanan yang paling bawah (Dakwah Masyarakat), dakwah akademik (Kalangan Intelektual) hingga pada perjuangan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai hukum positif secara konstitusional, mengingat akhir dari sidang konstituante menghasilakan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah “Piagama Jakarta menjiwai UUD 1945” yang artinya menjadikan syariat Islam sebagai hukum positif adalah upaya yang konstitusional, Bung Karno pun pernah mengatakan “jika ummat Islam ingin menjadikan Islam sebagai aturan negara maka silahkan ummat Islam untuk masuk sebagai anggota parlemen dan memperjuangkannya secara konstitusional”.

Begitulah seharusnya hubungan kita dengan sejarah, ia adalah peristiwa masa lalu yang menjadi ruh untuk memperjuangkan masa depan, sejarah adalah peristiwa yang memiliki pemain yang telah diperankan oleh aktor-aktor pada zamannya, yang kemudian kita sebagai generasi setelahnya menjadikan mereka sebagai contoh, agar juga mengambil peran-peran besar yang kelak akan menjadi warisan sejarah bagi genarasi setalah kita.

Untuk menjadi aktor sejarah bukanlah sesuatu yang mudah, kita harus mempersiapkannya dengan tarbiyah ilmu dan tarbiyah kehidupan hingga memiliki mental perjuangan. Jika John F Kennedy (Mantan Presiden Amerika) pernah mengatakan “Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang telah engaku berikan untuk negaramu”, maka kita sebagai ummat Islam yang menjadi prinsip kehidupan kita adalah (QS.Muhmammad:7) “Wahai orang-orang yang beriman tolonglah agama Allah maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” jika ini yang menjadi prinsip kehidupan kita maka perkataan dari Kennedy akan menjadi salah satu bagian dari prinsip kehidupan kita sabagai warga negara, karena wawasan kebangsaan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan keislaman kita, itulah yang tercermin dari kehidupan Prawoto Mangkusasmito mantan ketua Masyumi yang pernah menjabat wakil Perdana Menteri dan anggata DPR yang tanpa minder dan malu menggunakan baju hasil tambal jahitan untuk memenuhi undangan istana negara, Syafruddin Prawiranegara mantan Menteri yang isterinya berjualan sukun untuk menghidupi anak-anaknya, dan kisah Bung Hatta sang mantan wakil Presiden yang tidak mampu membeli sepatu Bally yang beliau senangi hingga akhir kehidupannya. Seperti itulah gambaran pejuang sejati, yang hidupnya hanya untuk berkontribusi, nama besar dan jabatan yang emban tidak digunakan untuk memperkaya diri, akan tetapi digunakan untuk meninggalkan legecy yang mengharumkan namanya dibumi dan mengokohkan eksistensinya diakhirat nanti.

Tugas para pejuang terdahulu telah selesai, kini saatnya mereka menikmati istirahat ditempat terbaik, kini tangis telah tiada, terganti sudah dengan senyum bahagia, cucur keringat karena kepenatan berjuang untuk ummat kini terbayar sudah, baju perjuangan yang sederhana itu kini menjadi saksi kemuliaanya, selamat menikmati istirahat bagi kalian yang telah lelah, karena tidak ada kenikmatan istirahat bagi mereka yang tak pernah lelah, dan sebaik-baik tempat istirahat adalah disurga. Semoga kami juga bisa mengikuti jejakmu dan menyusulmu ditempat terbaik itu.