Mahkamah Konstitusi (MK): Panggilan Paksa Hanya Untuk Perkara Pidana Bukan Hak Angket

632

SULSELBERITA.COM. Dinamika politik dan hukum yang sedang bergulir yang dimotori oleh DPRD Takalar dengan instrumen hak angketnya terhadap orang nomor satu di pemda Takalar haruslah dilihat dan didudukan dalam optik dan kacamata hukum dan konstitusi. Sebab secara expresive verbis dalam UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub pada pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Artinya semua sikap tindak dan perilaku baik masyarakat, wakil rakyat (DPRD), dan pemerintah haruslah benar-benar diatas hukum.

Dalam ilmu Hukum Tata Negara salah satu sumber hukum primer dan fundamen adalah peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi Putusan pengadilan salah satunya putusan MK. Sebagai suatu sumber hukum maka setiap tindakan dari suprastruktur dan infrastruktur bernegara termasuk Kepala Daerah dan DPRD harus dan wajib didasarkan pada sumber hukum yang ada. Selain karena konsekuensi sebagai negara hukum juga sebagai basis landasan legitimasi keabsahan suatu tindakan yang diambil.

Advertisement

Terkait dengan diskursus status hukum panggilan paksa hak angket dalam dinamika ketatanegaraan telah diputuskan oleh MK yang bersifat final dan mengikat (pro veritate faxit ius). Pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.16/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) Pasal 73 dan Pasal 383 terkait kewenangan panggilan paksa pada orang, kelompok maupun badan hukum atau instansi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dimana MK dalam pertimbangan hukum Ration De’etre dan orbitadicta putusannya menyatakan bahwa panggilan paksa tersebut merupakan upaya perampasan hak pribadi seseorang atau badan/instansi yang hanya dikenal dalam proses penegakan hukum pidana (pro justicia) yang telah diatur secara tegas (stricta) dalam KUHAP mengenai mekanisme penggunaan dan larangannya untuk tindakan tindakan selain untuk pro justicia penegakan hukum. Kedua, MK berpendapat bahwa DPRD adalah lembaga politik bukan lembaga penegak hukum sehingga kehilangan relevansinya. Lebih lanjut MK menyatakan bahwa secara historis panggilan paksa hanya diperuntukkan untuk panggilan didepan persidangan pengadilan dan itu jelas serta tegas dalam konsep penegakan hukum hal ini juga semata mata sebagai perwujudan perlindungan dan perghormatan terhadap hak asasi yang dijamin oleh konstitusi.

Putusan MK sebagai penjaga nilai suci dan luhur konstitusi (the guardian of the constitution) ini memiliki implikasi signifikan bahkan perubahan hukum yang besar sebab secara mutatis mutandis semua UU atau Peraturan dibawahnya yang memuat substansi pasal yang sama atau identik dan sejenis juga dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Salah satunya UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pada pasal 171 ayat (3) terkait kewenangan panggilan paksa DPRD serta PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Pada Pasal 75 ayat (3) yang berbunyi “Dalam hal pejabat, badan hukum, atau warga masyarakat yang telah dipanggil dengan patut secara berturut turut tidak memenuhi panggilan, DPRD dapat memanggil secara paksa dengan bantuan kepolisian” oleh MK juga dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Implikasi dari putusan MK ini maka Kewenangan DPRD untuk melakukan panggilan paksa itu telah kehilangan legitimasi kekuatan hukum dan kehilangan dasar hukumnya.

Dalam desain Konstitusi UUD NRI 1945 juga, sifat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu bersifat erga omnes yang artinya tidak hanya berlaku bagi para pihak yang menguji di MK melainkan juga mengikat semua pihak dalam bernegara termasuk pada norma lain yang identik dan sejenis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan adanya putusan MK ini, maka jelas dan tegas bahwa pemanggilan paksa oleh DPRD dengan bantuan polri juga merupakan norma yang tidak dapat diaktivasi dan dioperasionalkan karena norma tersebut adalah norma yang mengalami kekosongan hukum (recht vacuum) akibat putusan MK.

Sikap yang tidak menjalankan dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah suatu bentuk penghinaan terhadap peradilan konstitusional (contempt of court) dan perbuatan melawan UU bahkan Konstitusi UUD NRI 1945.

Oleh : Asrullah (Pengamat Hukum Madani Institute CIS)