SULSELBERITA.COM – Manusia pada dasarnya sebagai mahluk teoritis yang memiliki batas kemampuan. Oleh sebab itu, akal mempunyai kapasitas yang tidak selamanya mampu mencapai pada titik maksimum.
Al-Kindi menyatakan bahwa bilangan Aritmatika memiliki batas meskipun akal tak kuasa untuk menjamahnya. Sementara dalam buku ESQ (Spiritual Quotient) menyebutkan “God Spot” yakni Ranah Tuhan sebagai titik akhir dalam pencapaian. Tak ada lagi manusia yang mampu mencapainya kecuali atas izin Ilahi.
Menjadi seorang bijaksana atau dipandang sebagai manusia idealism tidak cukup hanya sekadar tahu kebenaran tetapi harus berupaya untuk mewujudkan kebenaran di atas klase kehidupan yang telah bersemayam bersama jiwa.
Sejatinya manusia terlahir sebagai pribadi suci nan memiliki tabiat positif yang diguguh dengan benar namun semuanya lenyap ditelan malam semenjak iblis asyik bermain api. Tak dipungkiri lagi bagaimana tabiat manusia selalu dikesampingkan yakni mengenal dan melupa lalu mengikat diri pada sikap masa bodoh takkala semua harapan dilemahkan. Tanpa sadar, jutaan nestapa diaduk sempurna hingga berubah menjadi mutiara dan imbasnya akan bermuara pada kepercayaan seseorang; dikorbankan atau mengorbankan.
Riak nan gemuruh ketika sifat biadab menampakkan diri sebagai juru selamat alam semesta. Hembusan angin di pagi buta dan tepat di bawah kaki langit, Semesta sedang dimanipulasi oleh kepentingan. Yah, kepentingan untuk mengamankan posisi agar tidak terseret ke lembah derita.
Keluh tak berarti diam dan bersuara tak berarti berdalih.
Ada begitu banyak suara sumbang memenuhi etalase semesta, semuanya itu hanya pemanis kata belaka dan Jika dilirik secara masif maka yang terlihat ialah tirai-tirai kedustaan sedang tersenyum manis.
Sekarang sudah berganti zaman bahwa siapa yang terbaik akan dikebumikan dan yang paling terburuk tentu menjadi primadona lalu dieluh-eluhkan setinggi mungkin. Hayatilah bahwa sebuah hasil yang diraih secara instan akan selalu berakhir pada kata “Tidak berkelas” Sedemikian kata yang disebutkan layaknya sebagai pion atau boneka.
Jika suatu hari nanti sejarah akan mencatat maka percayalah segelintir manusia yang telah dikecewakan akan bergerombolan menyuarakan nurani yang terluka dan kalimat yang pantas di labuhkan ialah “Tubuhmu Hanya Budak Kepentingan”.
Sistem kerajaan telah berlalu dan bidak pion masih saja setia sebagai budak. Ia cenderung dikorbankan dan setiap tetes keringat beserta darah tak dianggap bernilai.
Otoritas sang Raja merupakan suatu kebenaran walaupun hakikatnya salah sedangkan keputusan orang lain adalah kesalahan meskipun benar adanya.
Hidup itu layaknya bermain catur dan setiap aturan dalam permainan memiliki ciri khas tersendiri. Seandainya semesta memintamu untuk memilih “Jenis bidak apa yang engkau suka?”.
Maka pilihlah bidak yang kuat agar dirimu tidak dijadikan tumbal.
Ooooppsss, ternyata pertanyaan ini salah ditujukan kepadamu sebab jiwamu tanpa diminta dengan sendirinya memilih menjadi sebagai pion berlabel budak abadi.
Hidupmu diambang batas karena benang merah telah terlihat dan segeralah berdamai dengan keadaan yang memungkinkan nalurimu lurus, hatimu bersih dan akalmu sehat sebab mosi tidak percaya telah disuarakan sejak awal.
Sudahlah, bukan hidup di dunia namanya kalau tidak ada rasa kecewa, bukan bernapas di bumi namanya kalau tidak pernah terluka. Apapun yang telah terjadi biarlah ia dicatat sebagai kenangan pahit dan berharap waktu mampu membasuh luka.
Sekarang berhentilah mendikte takdir bahwa hidupmu bukan sekadar digunakan oleh manusia berkepentingan tapi gunakanlah dalam hal kebajikan. Orang bijak selalu mengingatkan bahwa kamu dapat menolak sejarah tapi engkau tidak dapat merubahnya sebab kenangan itu menyukai kedamaian.
Sudah saatnya melepas diri agar tak selamanya dijerat dalam lingkaran sebagai mahluk tiada arti (budak).
Bukankah sangat romantik nan indah jika berdealektika dengan realitas yang murni tanpa kebusukan?
Yakini dalam hati bahwa orang yang berjuang sendiri akan tahu bagaimana setiap jengkal rasa sakit, asinnya air mata, dan sesaknya tangis menusuk dada.
Orang yang berjuang sendiri akan mengetahui pada akhirnya ternyata penciptaan dirinya memiliki alur tersendiri ketimbang orang yang hanya bertahan harap dari orang lain. Pikirlah sekali lagi bahwa orang yang berjuang sendiri akan selalu membutuhkan sebuah harapan di ujung asa yang dikukuhkan dalam doa sedangkan orang yang bergantung kepada mahluk membutuhkan bukti terlebih dahulu untuk memantaskan bahwa layak dijadikan boneka.
Jangan pernah gadaikan dirimu jika engkau memiliki prinsip hidup sebab kamu dan mereka bukanlah mahluk biasa yang tercipta hanya karena kesepakatan untuk mendapatkan jatah oksigen di muka bumi.
Don’t embarrassing yourself if you have something that can be proven to somebody else. God has said for you that you’re one special whatever will be.
Penulis : Wardiman Sultan Madir
( Dewan Pembina Organisasi IMPERA )
*Tulian tanggung jawab penuh penulis*