SULSELBERITA.COM – Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun lalu saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar.”R.A Kartini
Disini, kesetaraan gender tidak akan dibahas. Dalam penggalan ayat “dzakarun wal ‘untsa” dalam surah Al-Hujarat 13, disitu jika lebih ditadabburi laki-laki dan perempuan tidak hanya sebagai identitas, akan tetapi lebih ke sifat maskulinitas atau feminitas. Pada hakikinya perempuan memiliki sifat kelaki-lakian, begitu juga sebaliknya dengan para laki-laki yang pasti juga memiliki sifat keibu-ibuan. Sifat yang menjadi wujud laku disini menggambarkan bahwa tiap insan mesti memiliki porsi keseimbangan dalam ruang dan waktu yang tepat. Tentu, tanpa mengesampingkan bentuk kesejatian fisik yang telah dianugerahkan kepada dirinya.
Mengingat hari ini adalah Hari Kartini yang terkenal dengan tagline”emansipasi wanita”, sudah seharusnya kita melihat begitu banyak peran wanita dalam berbagai lini profesi. Bahkan saya teringat pesan Simbah ketika memberikan nasihat yang mengatakan bahwa seketergantung-gantungnya ibu sama bapak, akan kalah dengan seketergantung-gantungnya bapak sama ibu.
Kita tentu berterimakasih kepada pandemi yang lebih sering mengumpulkan mayoritas manusia yang hidup terpisah untuk kembali berkumpul kepada keluarga. Menghabiskan waktu untuk menciptakan moment kebahagiaan bersama di tengah wabah corona sembari saling mengamankan setidaknya di lingkungan terdekatnya.Tapi, meski di rumah saja, apakah ada jaminan 100% aman dari virus Corona? Peran ibu sangat penting untuk menjadi komando dalam menjaga kebersihan, selain menyediakan makanan. Membangun ikatan yang lebih erat dengan saling berbagi cerita atau bertukar pikiran yang biasanya sangat jarang dilakukan. Menjadi kontrol atas setiap informasi-informasi yang berlalu-lalang membawa keresahan.
Pengawasan ini sangat krusial mengingat informasi bisa jadi menjadi ancaman yang lebih serius daripada Corona. Informasi sanggup mematikan nurani dan memtuskan rahmat yang seharusnya semerbak dimana-mana.
Corona datang justru memberikan nasihat terbaik kepada manusia, yaitu mengingat kematian. Corona datang begitu lembut karena makhluk ciptaan Tuhan ini tak mampu dipandang menggunakan mata telanjang.
Disaat diluar sana manusia begitu yakin dan pasti dapat menaklukan Corona dengan keangkuhan intelektualnya. Dengan ketangguhan sikap maskulinitasnya yang jika tidak dapat dikontrol justru hanya menyebabkan kesembronoan.
“Habis gelap terbitlah terang” seolah menjadi slogan yang selalu mencuat tiap tahunnya di hari Kartini. Namun, hidup adalah sebuah siklus yang terus berputar. Terbitnya terang bukan berarti gelap telah habis dan berakhir. Terang juga akan menjadi tanda bahwa gelap akan segera menyapa kemudian. Gelap dan terang hanyalah simulasi satu momen, layaknya baik dan benar, lebih dan kurang, dsb. Dimana komponen-komponen tersebut secara simultan akan dipelajari di sepanjang jalan kehidupan.
Gelap-terang-gelap-terang, dst.
Hidup itu dinamis dan berkelanjutan, jangan mudah berhenti. Mulai melatih berpikir secara paralel dalam menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dengan bekal ilmu yang sudah dipelajari. Terapkan dengan penuh kedaulatan dan kamantapan! Kita tidak pernah bisa memberikan standar porsi kadar terang ataupun gelap. Karena dalam terang selalu mengandung gelap, pun dalam gelam yang selalu menyembunyikan terang.Jangan-jangan Corona yang sering disangka gelap hingga ingin sekali dimusnahkan oleh kebanyakan manusia karena menjadi ancaman kemashlahatan dirinya, membuatnya kelaparan, menjadikannya hidup dalam ketidakjelasan, sebenarnya adalah terang, mungkinkah?
Mungkin manusia bisa belajar sikep feminim yang nampak penuh dengan kelembutan.
Menurut Simbah, salah satu ciri kelembutan itu adalah rela melakukan apapun asal mampu membuat orang yang dikasihinya senang dan bahagia. Jika kita mengambil kelembutan, akankah Corona yang disangka gelap mampu berubah menjadi terang? Atau setidaknya hanya di dalam gelap, kita akan lebih banyak menemukan cahaya?Ataukah, pada akhirnya gelap ataupun terang akankah menjadi fana jika disikapi dengan kelembutan?
Berkaca dari keberanian Kartini, kita harus tetap berani dan optimis dalam menghadapi bencana Corona. Keberanian yang tetap diimbangi dengan kewaspadaan. Keberanian yang terukur. Keberanian yang tidak menyepelekan: misalnya keluar rumah tidak menggunakan masker, berkumpul dalam keramaian meski ada himbauan untuk membatasi diri dalam kerumunan, atau tidak mengindahkan himbauan pemerintah untuk mencuci tangan dengan sabun secara rutin setelah berpergian atau berinteraksi dengan demikian, kita harus tetap optimis, bahwa kita akan memenangkan peperangan ini. Kita akan bersama-sama berkomitmen membantu pemerintah. Kita akan bersama-sama mematuhi aturan yang dibuat dari pusat hingga desa. Insya Allah, atas izin Allah dengan semangat keberanian dan optimisme yang tercermin dari RA Kartini, kita akan keluar sebagai pemenang.
Semoga semangat hari Kartini tidak disalah gunakan dan perempuan Indonesia terus berjaya bagi keluarga, bangsa, negara tanpa lupa akan kodratnya sebagai perempuan.Sekali lagi, masa Karantina ini sangat relevan dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh pejuang emansipasi, RA Kartini. Ia saat itu dikarantina oleh aturan ketat keluarga, kitapun dikarantina oleh virus Corona. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan dan mengoptimalkan kekurangan menjadi kelebihan. From zero to hero. Selamat hari Kartini, dan selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan tahun 1441 H.
Penulis : Nurhidayahtunnisa
( Siswi SMAN 9 Sinjai )
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis )