SULSELBERITA.COM – Berpikir rasional dan objektif akan tertuju pada kalangan intelektual, khususnya mahasiswa. Mahasiswa memang identik dengan dunia yang baru di kalangan anak muda, dunia secara universal yang spontan pemikiran berubah dan terbuka. Label itu adalah amanah dari pandangan manusia seluruhnya maka akan terlihat lucu jika mahasiswa masih tertutup untuk membuka pemikirannya.
Saya merasakannya ketika meninggalkan sekolah menengah dan duduk di perguruan tinggi. Rasanya indah, keren, dan menakjubkan melihat retorika para pendahulu di kampus. Budaya kritik mahasiswa di tahun 2018 lalu sangat menonjol dan sangat menarik perhatian mahasiswa baru yang masih awam dan lucu-lucu di mata pendahulu kampus.
Saya kagumi beberapa pendahulu (senior), lalu berangkat dari kekaguman itu akhirnya penasaran dengan dunianya. Ternyata bagroundnya hijau hitam. Saya masuklah pada waktu itu di organisasi yang bermotto yakusa itu. Sangat menarik kebebasan penuh pada peserta intinya ada semangat untuk menuntaskan basic training kita bebas merokok dan minum kopi sambil menyimak apa yang disampaikan materi.
Malam-malam berlanjut rasanya kenapa ada yang berubah yah dengan pola pikiran. Kenapa saya bisa percaya diri berbicara di dalam forum. Seperti sulap saja ini forum anak-anak yakusa. Disini jiwa kritis, dan berpikir objektif. Saya terkesan dengan kata-kata asing ditelinga anak SMA bunyinya “Cogito Ergo Sum”, apa sih ini? Ternyata itu kata dari seorang filsuf (waktu itu, filsuf saja saya geleng-geleng) namanya Rene Descartes, pemantik menyebut Descartes dengan sebutan “Kakanda”. Saya kira ini senior kita di hijau hitam. Ternyata itu adalah seorang filsuf dengan kata-katanya yang dia hanya bisa dianggap ada jika dia sedang berpikir, sebaliknya jika tidak berpikir dia tidak ada. Ngeri bukan? Maba bisa apa? Geleng-geleng dengan pernyataan konyol dan membuat saya merenung.
Intinya saya bisa berpikir di saat materi Kerangka berpikir ilmiah, lucu juga jika ditanyakan apa beda benda dengan spidol. Rasanya ingin memukul kepala sendiri saat kesusahan mendefinisikan. Intinya lewat materi ini saya bisa berpikir jadi saya baru merasa bahwa saya memang ada, dan selanjutnya saya bilang “aku ada untuk berpikir”.
Santailah, itu hanya pengantar tulisan ini dengan maksud ada sedikit petikan untuk pembaca dan menjadi pelajaran bahwa jangan lihat dirimu sekarang, tapi lihat siapa dirimu dulu, dan kau sekarang begini diawali dengan apa?. Oke, cerita saya singkat saja dan kita lompat ke dua tahun kemudian.
Yah sekarang saya tidak mau disebut sebagai mahasiswa baru, iyalah saya bisa berpikir (bukan sombong). Iya berpikir bisa rasional belum tentu, bolehlah kita diskusikan. Sekarang saya di posisi sebagai manusia, juga sebagai laki-laki juga sebagai manusia yang berpikir agar dianggap “ADA”, tapi satu yang saya takutkan Ada tapi tidak dianggap. Sekarang apa lagi? Untuk buktinya, saya akan mengajak pembaca untuk menari-nari dengan realitas objektif, membaca keadaan, memunculkan sebuah pemikiran layaknya kita bermain di Tesa, anti-tesa, sintesa.
Nah kita akan melihat dunia, oke dunia menurut Hannah Arendt itu adalah lingkungan manusia, Namun saya tekankan bahwa teori tindakan Arendt tidak dapat dibaca lepas dari kaitannya dengan dua konsepnya tentang ruang publik, yaitu sebagai “ruang penampakan” sekaligus “ruang bersama”. Makanya, ketika kita di dalam lingkup dunia beda dengan bumi, artinya kita dalam lingkungan sosial, dan politik. Arendt dalam hal ini menolak konsep antropologi politik zoon politikon Aristoteles, yang mengandaikan dimensi politis bawaan manusia.
Arendt lebih menolak lagi pencampuradukan antara “yang politik” dan “yang sosial”, yang tercermin dalam penerjemahan ke bahasa Latin zoon politikon menjadi animal socialis. Kalau sosial kita sebatas hidup berdampingan dan belum menyatukan suatu kepentingan bersama, jika manusia politik itu keduanya berdampingan dan memiliki kepentingan bersama. Artinya pada sosial terhubung tapi masih cenderung menyembunyikan yang privat, tapi kalau politik kita terbuka secara umum “ruang ketampakan” . Ini pendapat Arendt dan juga mengkritik pemikiran Plato dengan filsafat politiknya, tapi Arendt malah bilang itu bukan filsafat politik tapi filsafat untuk politik. Oke, saya bingung silahkan berpikir dan cari sendiri kebenarannya karena kita ini manusia.
Oke lupakan politik dulu nanti di hubungkan sekarang saya cerita lagi. Saya rasa sekarang di bangsa kita memang hidup di wilayah Demokrasi, bagaimana sehingga menuju kata demokrasi itu. Ternyata tidak seperti apa yang kita lihat orang saling menghujat karena adanya kebebasan berpendapat. Ternyata ini ada hubungannya dengan pembantaian 6 jendral 1 perwira yang mati dalam lubang tak berguna. Pasti sekarang timbul di pikiran pasti karena “PKI”. Makanya agar tidak keliru berpikir coba berdialektika dengan buku-buku sejarah. Saya sarankan, Kekerasan budaya pasca-65 karya Wijaya Herlambang. Dia akan membahas pertarungan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan. Tentunya kiri komunis, kanan kapitalisme ( liberal) yang dipelesetkan menjadi humanisme universal. Sadis demi ekonomi dan kekuasaan harus ada pembantaian, saya takut salah jika menyebut PKI atau Soeharto sebagai dalangnya hingga masuklah budaya-budaya barat. Tak disangka ada orang titipan di negeri kita waktu itu, titipan CIA. Mengerikan bukan?.
Singkat cerita setelah pembantaian, penguasa baru, dunia pun berubah otoriter dan menjual Pancasila sebagai asas tunggal tapi perbuatan non-pancasilais (Kata sejarah). Hingga ditumbangkan di reformasi. Yang lebih mengerikan adalah kutukan budaya orde baru yang terus melahirkan hegemoni kebencian terhadap korban kekerasan. Ini kekerasan budaya seperti film, buku pendidikan, novel dan pembasmian buku-buku kiri. Ada apa? Penasaran baca sendiri agar ketika saya salah kita bisa diskusi.
Hubungan yang cerita kedua dan pertama apa? Ternyata itu tidak terlepas dari politik. Saya sedikit berkomentar terhadap interpretasi, interpretasi biasanya keliru karena perbedaan sudut pandang. Makanya itulah gunanya “akal” untuk berpikir sebelum menyalahkan. Okelah semua kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok kata Arendt manusia (man) tidak manusiawi (human) kalau tidak politis. Saya berpikir bahwa menurut dia kita harus politis agar manusiawi. Tapi kita melihat realita, politik itu kepentingan bersama kepentingan kelompok, atau kepentingan bersama tapi hanya satu kelompok?.
Kita melihat banyak ideologi, dari perbedaan ideologi itu akan melahirkan pertarungan ideologi agar hanya ada satu ideologi. Ideologi kita analogikan sebuah piring, jika si A yang menang maka dia akan isi Bakwan, kalau si B dia isi Nasi, belum si C dan D. Dari sini kita lihat di ruang ketampakan ini menjadi mengerikan karena perbedaan ideologi.
Ada Yang condong ke kiri Komunisme, disusul sosialisme, Liberalisme, Lalu konservatisme, Lalu Fasis di kanan yang paling otoriter. Belum lagi ada yang menjadi bagian dari ideologi itu seperti kapitalisme liberal yang sangat populer, dan siapa lagi oposisinya kalau bukan sosialisme. Kapital ada Adam Smith, di Sosialisme ada Marxisme. Perlu di catat bahwa ideologi bukan sekedar konsep tapi itu realitas karena kita rasakan pertarungannya dari dulu hingga sekarang. Sebutlah dulu Indonesia agak memilih sosialisme karena Soekarno, begitu juga cina, uni Soviet. Kalau kapitalis jelas AS dan kawan-kawannya. Coba lihat isu yang berkembang sekarang ternyata di skala pertarungan ekonomi global yang sangat mengerikan antara tokoh negara yang berbeda ideologi.
Waduh, parah ini ideologi dan politik tidak terpisahkan. Lalu karena itu akan ada kerusakan dimana-mana karena pertarungan. Jadi saya tidak sepakat dengan sebutan “manusia tidak manusiawi kalau tidak politik”. Atau mungkin politik itu manusiawi jika tanpa dibarengi ideologi, tapi mungkin. Karena kerumitan ini, saya bingung, Iksan skuter juga bingung dengan lagunya.
Inilah alasan mungkin banyak orang yang sengaja untuk tidak mau tahu agar hidupnya santai? Iya nggak?. Kalau sudah dibaca coba ceritakan cerita ini ke orang di sekitar. Mau dicerita jelek, baik itu bukan urusanku. Tapi intinya kan saya hanya bercerita apa nyambungnya pemikiran beberapa pemikir. Bahwa ada hubungan cerita sejarah masa lalu, ideologi, dan politik.
Sekarang kita coba bahas tentang kebebasan “liberalisme” tapi John S. Mill bilang bebas tapi masih melihat hukum. Tapi apa yang menghukumi untuk pertarungan skala global?. Pertikaian wacana,perang dimana-mana ini adalah suatu yang mengerikan. Padahal kebebasan dari belenggu atau Demokrasi telah muncul setelah revolusi francis 1789. Maksud saya bebasnya apa, dari bebas itu kemudian apa? Bebasnya individu Untuk berkelompok dan berideologi lalu berpolitik hingga perang, apakah ini wujud dari kata liberalisme atau kata demokrasi itu?. Oke demokrasi kebebasan berpendapat, untuk apa banyak pendapat dan bebas kalau nyatanya peperangan dari dulu sudah turun-temurun.
Saya tambahkan sedikit lagi dari kata Arendt. Upaya penebusan manusia politik oleh Hannah Arendt tidak dengan seruan moralis tetapi dengan melakukan kajian fenomenologi dan menggelar di hadapan kita bahwa manusia memiliki fakultas yang mengakar dalam dirinya yaitu berpikir, bertindak dan berbicara.
Manusia hanya akan lebih terlihat jika ia menampakkan keberanian, proses, mencipta/memulai , bukan hanya yang esensi. Saya memahami kata Arendt bahwa seharusnya politik itu selalu mengedepankan kepentingan bersama, bukan kelompok apalagi individu. Kita hidup di zaman dimana keunikan murni personal, rasionalisme itu menjadi hak bukan lagi tentang kebebasan untuk kebersamaan. Selalu mengedepankan pribadi dan menghiraukan semua yang tidak ada untungnya terhadap diri pribadi atau kelompok satu visi misi.
Tulisan ini adalah pikiran saya, mengutip beberapa pikiran orang lain dan menceritakan sedikit saja. Saya hanya mengambil satu poin penting bahwa kita sudah terlalu jauh mengejar “dunia” makanya saya setuju bahwa bumi dan dunia itu berbeda. Pada bumi kita akan menyatu dengan yang non-manusia. Kita berdampingan dengan alam. Kita akan tinggalkan dunia yang celaka ini, karena hegemoni kemajuan itu. Lalu kita segera kembali ke-bumi, tapi ingat bukan bumi kata Pramoedya Ananta Tur yang judulnya “bumi manusia”, tapi lebih menantang jika coba jadikan dunia layaknya bumi. Ingat, pikiran sampai di penghujung ini itu karena adanya usaha saya untuk bercerita , berfikir dan menulis. Maka Descartes dengan “Cogito Ergo Sum”nya saya bisa sampai pada keinginan meninggalkan dunia kembali ke-bumi.
( Catatan: mengambil pemikiran dari buku Kekerasan budaya pasca-65: Wijaya Herlambang, dan Manusia, perempuan, laki-laki: Edi Riyadi Terre)
Penulis : A. Ikhsan, Himpunan (Mahasiswa Islam Cabang Gowa Raya)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*