OPINI : “BLT-Kemanusiaan, Desa Watobuku…???”

384

SULSELBERITA.COM – Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) telah melakukan perubahan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Peraturan itu berubah menjadi Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 6 Tahun 2020.

Dalam aturan tersebut, setidaknya ada tiga poin penting terkait Dana Desa yang boleh digunakan untuk penanggulangan terdampak pandemi Covid-19. Pertama Dana Desa boleh untuk pencegahan dan penanganan Covid-19, Kedua Padat Karya Tunai Desa (PKTD), Ketiga Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Advertisement

“Pentingnya Pengawasan”

Dikutip dari kemendesa.go.id, sekitar 31 persen dari Rp72 Triliun total dana desa tahun 2020 atau sebesar Rp22,4 Triliun akan digunakan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Rencananya BLT tersebut, akan diberikan selama periode tiga bulan (April-Juni 2020). Dengan estimasi setiap keluarga mendapatkan Rp600 ribu per bulan. Jadi dalam periode tiga bulan, total bantuan yang di dapat setiap keluarga adalah Rp1,8 juta.

Sasaran penerima BLT Dana desa adalah keluarga miskin non PKH (Program Keluarga Harapan) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang kehilangan mata pencaharian, belum terdata (Exclusion error), dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis.

Melihat gambaran umum dari sasaran penerima bantuan dengan nominal anggaran yang disiapkan cukup besar, tentu harapannya adalah dapat terwujud dan terealisasikan dengan cepat dan tepat. Maka dari itu sangat penting pengadaan sosialisasi, pendataan penerima bantuan, dan khususnya dalam hal pengawasan terhadap berjalannya pendistribusian dana bantuan tersebut, sangatlah vital.

Sebab bantuan tersebut adalah salah satu upaya pemerintah pusat untuk membuat jaring pencegahan dan penanganan terdampak Covid 19 di lingkup desa. Sinergitas pemerintah desa dengan masyarakat tentu sangat dibutuhkan di sini. Tidak lain adalah demi kemanusiaan.

BLT ini kiranya, dapat dimaknai sebagai sebuah satu ujian kemanusiaan. Bagaimana pihak yang berwewenang, dapat menyalurkan BLT ini dengan amanah, transparan, dan bertitik tumpu pada keadilan.

Ironis, jika nantinya ada berita tentang korupsi BLT Dana Desa. Untuk itu, penting dari kita semua untuk saling menjaga, bekerja secara amanah, dan saling mengawasi dan mengingatkan. Sebab, sekali lagi ini soal kemanusiaan.

“Tepat Sasaran adalah Tujuan”

Selain pengawasan, kiranya kebijakan terkait peraturan baru ini  akan menjadi angin segar bagi masyarakat desa, jika terealisasikan. Di sisi lain, pemerintah desa pastinya telah disibukkan dengan aktivitas perubahan rancangan anggaran penggunaan Dana Desa.

Selain itu Pemerintah Desa juga harus jeli, dalam mendata dan mengkategorikan masyarakatnya, perihal yang berhak mendapat bantuan PKTD dan BLT. Sebab sedikit banyak masyarakat dalam hal sisi perekonomian, secara merata terdampak pandemi Covid-19. Maka dari itu, Pemerintah Desa kiranya dapat memetakan beberapa golongan prioritas masyarakat terdampak Covid-19.

Kiranya ada beberapa golongan masyarakat terdampak Covid-19. Diantaranya masyarakat miskin dan masih mampu bekerja, tapi akibat terdampak Covid-19 ia kehilangan pekerjaan atau mata pencahariannya. Maka golongan ini bisa masuk dalam masyarakat penerima bantuan PKTD, supaya mereka dapat terus menyambung perekonomian keluarganya.

Kemudian untuk masyarakat miskin, ditambah fisik tidak mampu digunakan untuk bekerja, dan tidak sedang menerima bantuan lain dari pemerintah. Maka golongan ini berhak mendapat BLT. Biasanya masyarakat lansia dan penderita difabel.

Selain itu ada golongan masyarakat yang tergolong menengah (tidak kaya atau tidak miskin), fisik kuat dan memiliki pekerjaan sebagai Nelayan misalnya, tapi harga hasil penangkapan tidak stabil karena efek pandemi Covid-19. Maka pemerintah desa harus bisa mencari alternatif untuk menanganinya. Misalnya dengan cara menstabilkan harga hasil penangkapan dari masyarakat yang berprofesi sebagai Nelayan tersebut.

Pemerintah Desa bisa bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Di mana Bumdes bisa membeli hasil Nelayan masyarakat dengan harga yang normal. Setidaknya tidak membuat Nelayan rugi dan dapat menyambung perekonomian keluarga melalui hasil penangkapanya tersebut.

Dalam hal ini, pihak Pemerintah Desa bisa menggunakan Dana Desa yang lain, jika memang asupan Dana Desa dari pusat tidak mencukupi dan dirasa akan habis untuk BLT dan PKTD. Alternatifnya adalah dengan cara memutar pendapatan desa yang lain. Seperti Dana Alokasi Dana Desa (ADD) dan Pendapatan Asli Desa (PADes).

Perlu diketahui, bahwa Dana Desa dengan Alokasi Dana Desa adalah hal berbeda. Namun seringkali, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa keduanya adalah sama. Letak perbedaannya, ada pada sumber dana tersebut.

Dana Desa bersumber dari APBN, sedangkan Alokasi Dana Desa bersumber dari APBD yaitu minimal sebesar 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah Dana Bagi Hasil (DBH).

Sedangkan Pendapatan Asli Desa (PADes) adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa. Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong masyarakat Desa.

Meski begitu, untuk mengatasi problem di lingkup desa akibat terdampak pandemi Covid-19, kebijakan yang akan diambil alangkah baiknya melalui musyawarah desa terlebih dahulu. Kemudian hasilnya bisa di laporkan melalui pembuatan pamflet atau banner tentang perubahan Dana Desa untuk Covid-19, dari sumber, macam pendapatan desa, hingga Dana tersebut digunakan untuk apa saja.

Selain sebagai edukasi kepada masyarakat, juga sebagai bentuk transparansi Dana Desa. Hingga kemudian dapat memudahkan masyarakat untuk saling mengawasi, antara sebuah data yang telah diirencanakan dengan realisasinya.

Penulis : Abu Yajid Al Hamidi,
(Mahasiswa S1 FH Unisma Malang)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*