SULSELBERITA.COM – Belum lama ini, sejumlah tenaga medis Indonesia meluapkan kekesalan mereka terhadap pemerintah dalam beberapa kebijakan menghadapi Covid-19.
Tagar Indonesia Terserah menggema di media sosial berisikan foto-foto dan video tenaga medis yang menyayangkan sejumlah kebijakan pemerintah di antaranya adalah pengecualian pergerakan masyarakat keluar kota hingga diperbolehkannya warga berusia dibawah 45 tahun di 11 sektor untuk kembali bekerja di kantor.
Unggahan tersebut juga muncul sebagai respon atas ramainya sejumlah lokasi yang didatangi masyarakat. Padahal, pandemi virus belum reda. Data yang dirilis pemerintah bahkan menunjukkan virus itu terus menyebar.
Indonesia juga terus mencatat ratusan kasus baru setiap hari, totalnya sekarang melampuai 18.000 kasus. Data terakhir dari BNPB sebanyak 18,496 orang terinfeksi dan 1.221 diantaranya meninggal dunia. Namun masyarakat yang telah berulang kali diimbau untuk tetap berada dirumah justru keluar rumah. Banyak orang berani berkumpul hingga menimbulkan kerumunan yang rentan terjadi penularan Covid-19.
Tagar Indonesia Terserah seakan-akan memberi kesan bahwa tenaga medis juga sepertinya sudah terserah dengan kelakuan masyarakat Indonesia yang sepertinya telah lupa bahwa kini tanah air tengah menghadapi sebuah pandemi yang menelan banyak korban jiwa. Kita semua semestinya khawatir melihat kembali padatnya pergerakan masyarakat di kawasan publik.
Kasus terbaru adalah gugurnya Ibu Ari Puspita Sari seorang perawat di rumah sakit Royal Surabaya yang meninggal bersama janin yang dikandungnya. Jika membuka data, saat ini jumlah dokter di Indonesia sangat minim. Dokter di Indonesia hanya ada di kisaran 200 ribu orang, sementara itu dokter spesialis paru hanya berjumlah 1.976. Artinya satu dokter paru melayani 245 orang warga Indonesia. Sejak maret, 52 dokter, perawat dan dokter gigi di Indonesia telah meninggal karena virus.
Dalam perspektif paradigma fakta sosial, Tagar Indonesia Terserah dipandang sebagai penghilangan makna dan pelunturan fungsi struktur dan kesatuan sosial masyarakat. Emile Durkheim melihat bahwa pecah dan berkembangnya kesatuan-kesatuan sosial merupakan akibat langsung dari berkembangnya pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Sehingga jika dikaitkan dengan kondisi sekarang dimana kita begitu ceroboh dan gegabah dan menolak patuh terhadap imbauan pemerintah. Paling tidak Hormati para sukarelawan yang bekerja keras untuk menyelamatkan hidup kita. Petugas kesehatan berjuang untuk memutus rantai pandemi, sementara dilain pihak orang hanya melanggar aturan, ini seperti cinta tak berbalas. Kita hadir sebagai manusia yang merusak dan intoleran terhadap sesama manusia.
Setiap hari tenaga medis berjuang di ruang dimana potensi terbesar tertular virus dan kematian, sedangkan banyak diantara kita mempertontonkan ego dan kelakuan yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi juga banyak orang. Ketika imbauan dan profesi tenaga medis tidak lagi dihargai maka luntur lah makna manusia dalam diri kita.
Dari hal-hal diatas, jadi tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa saat ini ada 2 pandemi yang melanda masyarakat kita yaitu Covid-19 dan Kebodohan. Konteksnya adalah orang yang berjuang mempertaruhkan nyawa melihat yang diperjuangkan tidak peduli padanya. Kita dengan berani bepergian dimana saja, demi kesenangan dan kebutuhan dilain pihak ada dokter dan tenaga medis lainnya yang bertaruh nyawa.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang semakin membuat masyarakat kebingungan. Regulasi PSBB misalnya dimana hampir disetiap daerah beda-beda dalam menafsirkannya. Hal ini diperparah dengan mulai pelonggaran PSBB yang pada hakikatnya sudah longgar.
Namun penulis ingin menutup tulisan ini dengan gairah optimistis, Indonesia terserah menurut penulis adalah bentuk lain dari edukasi bahaya virus. Untuk itu semua unsur masyarakat baik dari tingkat bawah hingga atas tetap disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan dan terus bersabar. Kita patut bersyukur sebab sejatinya masih ada upaya dari teman-teman tenaga medis ditengah kesungguhannya memberikan pelayanan terhadap pasien di rumah sakit tetapi tidak ingin diam dan membiarkan angka pasien terus bertambah.
Untuk itu perlu kiranya kesadaran dan kepatuhan dimulai dari diri sendiri tiap individu.
Namun tidak ada larangan untuk terus memikirkan makna frasa Indonesia Terserah dan Terserah Indonesia, jika kita masih enggan saling memahami dan toleran, kita semua bisa melontarkan pertanyaan yang sama, bagaimana jika tenaga medis kita benar-benar menyerah ?
Penulis : Akbar
( Jurusan Sosiologi FIS UNM )
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *