SULSELBERITA.COM – Pendidikan dalam konteks nasional berpadu pada nilai historisitas, berdinamika diatas kesepakan founding fathers yang terejawantahkan pada nilai-nilai konstitusional “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah upaya mencerminkan moral kebangsaan sekaligus mendeklarasikan kedaulatan sesungguhnya ada di tangan rakyat.
Keseriusan pemerintah dalam mengatasi problem pendidikan terletak adanya beberapa reformasi disegala bidang pendikan itu sendiri serta upaya beradaptasi dengan sarana teknologi. atas dasar pembangunan Nasional dengan memusatkan perhatian pada etos kerja serta penataan struktur kelembagaan mulai dari standarisasi program pendidikan yang terlegitimasi oleh beberapa undang-undang hingga menyinggung persaingan pekerjaan di pasar global.
*SDM ala nadiem makarim?*
Benarkah “Akar permasalahan itu muncul bersamaan dengan besarnya peran teknologi dan informasi”? begitulah ucapan nadiem makarim dalam rapat kerja perdana dengan komisi X DPR RI yang hanya mengeluhkan kondisi kemampuan SDM sarjana akan permintaan perusahaan skala besar dan kecil, saat bersamaan mengajak untuk bersikap berfikir independen seakan-akan Negara kemudian lepas kendali atasi pengangguran. Aspek meningkatan investasi di masukkan olehnya dengan bingkisan adanya keterampilan teknologi yang justeru menjerumus ke kubangan industrialisasi, terlebih mereduksi dan menyimpulkan pendidikan kuncinya ada dimengendalikan “teknologi” yang memaksakan semua orang harus ikut serta pada skema privatisasi pendidikan tersebut.
Apa jadinya ketika konsep pendidikan tidak berbanding lurus sebagaimana fakta pada sosial kultur, serta adanya sistem eksploitasi diruang diskursus yang tidak lagi bersyarat pada nilai-nilai ilmiah serta kewajiban Negara untuk mengupayakan hak-hak tiap warga Negara dalam mengenyam pendidikan?
Indonesia dalam mendukung sistem keberlangsungan persaingan global dengan alasan orientasi modernitas pendidikan perlu menerbitkan undang-undang No. 11 Th. 2019 tentang SISNAS IPTEK. alasan lain ialah ketidakmumpuni undang-undang SISNAS IPTEK sebelumnya, dengan dalih kurang berkontribusi secara optimal dalam pembangunan serta pemajuan Bangsa. Dalih Negara seolah-olah mengklaim telah menyelesaikan persoalan kontribusi serta kewajibannya terletak ketika selesai melakukan upaya menggantikan undang-undang yg telah usang atau katakanlah tidak sesuai kebutuhan pasar global.
Penyempurnaan pendidikan dengan menggunakan basis teknologi di benarkan oleh menteri Nadiem makarim menganggap satu-satu cara memecahkan kemandegakan ekonomi serta pemajuannya adalah tergantung pada kinerja sistem teknologi lalu siapa yang bertanggungjawab ketika ide invensi-nya (inventor) ini tidak mampu mengatasi daerah terpencil dan akses teknologi selalu dipaksakan oleh Negara dengan prinsip pemerataan (how abaut adaptation culture?), lalu jika inovasi hasil buah pikiran pendidikan semacam ini berdalih peningkatan kualitas kehidupan manusia, bukankah akibat alasan teknologi yang justeru menghancurkan beberapa proses hidup dan kehidupan (semisal sarjana pertambangan ialah namun pengetahuan yang ia dapat akan justeru menghancurkan tatanan ekosistem). Tentu hari ini tanpa proses pikir panjang dan mengikuti pembaruan serta kebaruan kita justeru tidak merefleksikan sama sekali apa nilai dan isi dari pendidikan, kita hanyalah terjebak pada batas ruang bagaimana bisa kerja dengan beragam alasan.
*Negara krisis komunikasi?*
Penataan struktur pendidikan dan penikmatan atas fasilitas tersebut tidak memberikan pengaruh samasekali apa yang dirasakan oleh murid sebagai peserta didik dan guru tenaga pengajar di daerah yang jangkauanya tak bisa di sosialisasi tuan kementerian pendidikan dan kebudayaan (Nadiem makarim). Bagiku, sebagai orang yang lahir pada kondisi sosial ekonomi terbatas yang jauh dari jangkauan pembangunan. Kelayakan tempat serta fasilitas memadai semenjak dibangunnya sekolah tersebut pada rezim Suharto tahun 1990-an sampai rezim Jokowi widodo tidak tersentuh samasekali sebagaimana gambaran diatas, namun apa yang menjadi fundamental (mendasar) dari pendidikan ialah kesungguhan untuk mengajarkan nilai kemanusiaan serta moralitas keterbukaan pemikiran tanpa membuat aturan serumit yang membodohi. Disparitas gaji tidak menjadi persoalan bagi pengajar serta menghalangi semangat untuk mendidik memerangi kebodohan, meskipun negara sudah menetapkan dengan berbagai macam regulasi memberikan intensif untuk tenaga pengajar serta mengatur dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS).
Bagiku, Ada baiknya pemerintah melakukan internalisasi diri atas peraturan yang sudah dibuat yang justeru menghabiskan anggaran begitu banyak yang akan memicu kondisi ambiguitas sosial lalu Negara kemudian mestinya mengapresiasi dan belajar dari proses pendidikan yang diajarkan beberapa kelompok minoritas penganut sedulur sikep agama Samin terletak di kabupaten Pati Jawa Tengah yang telah membuktikan bagaimana menghasilkan peserta didik yang baik serta mencintai keberagaman serta kemampuan berkomunikasi dengan baik di masyarakat lokal dan itu sistem pendidikannya jauh dari kata formal sebagaimana yg telah ditetapkan oleh Negara. Justeru faktanya hari ini ialah Negara mengeruk isi bumi yang ada di daerah pati terbukti “negara merampas pertama; sumber daya alam pegunungan yang terletak di sekitar penganut ajaran samin, kedua; Negara sekaligus mengabaikan kewajiban untuk memenuhi Hak atas pendidikan dengan standar konstitusi UUD 1945”.
Meskipun di dalam UU No. 20 Th 2003 tentang sistem pendidikan nasional berbicara mulai dari mengembangkan potensi hingga cara-cara sikap yang baik bernegara dengan standar formal serta menetapkan prinsip demokrasi yang berkeadilan dan melindungi nilai agama. Toh faktanya diskriminasi masih banyak terjadi lewat sistem pendidikan. Pendidikan khusus bagi masyarakat daerah terpencil yang katanya berhak memperoleh pendidikan khusus seperti papua dan NTT justeru nihil samasekali yang ada hanyalah anak-anak papua justeru ditakuti dengan adanya operasi militer di papua. Pemerintah daerah berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan, menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi. Kemudian pengelolaan dana pendidikan yang di taksir berkisar dari APBN dan APBD masing-masing 20% minimal namun siapa yang menjamin dan mengevaluasi proses didistribusikan ke pelosok-pelosok daerah dan mengevaluasi pelaku korupsi dari anggaran untuk pendidikan. Sebab bukan hal baru terjadi korupsi di bagian pengalokasian anggaran pendidikan.
Untuk menata ulang sistem pendidikan bangsa ini, kita kembali membuka naskah cita-cita reformasi dalam TAPMPR No. V/2000 dalam merumuskan etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia masa depan yakni; pertama; Kemajemukan yang harus di hargai baik suku, ras, agama dll. Menerapkan pendidikan harus menetapkan sesuai standar masing-masing kebutuhan budaya lokal. Kedua; sistem hukum yang adil, Artinya proses Pemantauan anggaran serta pemerataan anggaran sekaligus desentralisasi pendidikan. ketiga; sistem politik yang demokratis, yakni suatu kondisi dimana negara tidak berhak menentukan pendidikan macam apa yg layak bagi warga negara sebab warga negara punya entitas moral yang sudah turun temurun. Keempat; sistem ekonomi yang adil dan produktif, artinya anggaran semestinya tidak menciptakan gaya pendidikan baru dengan paras teknologi tetapi mengalokasikannya ke dalam gaji tunjangan bagi mereka yang bukan PNS/ASN serta anggaran kebutuhan pendidikan semisal buku bacaan dll. Kelima;sistem sosial budaya yang beradab, yakni pendidikan sejatinya mengajarkan nilai-nilai universal tanpa mendiskriminasi. Keenam; sumber daya manusia yang bermutu, yakni suatu kondisi pendidikan yang tidak menggantungkan pada sistem pasar saing global serta menanamkan kesadaran bahwa ujung berpendidikan bukanlah untuk dijual sebagaimana permintaan pasar.
Penulis : M Safali
(Kabid pendidikan& pelatihan Pengurus pusat SIMPOSIUM periode 2020-2021)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *