Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum
Ketua API – Advokat Pengadaan Indonesia
085340100081
SULSELBERITA.COM. Ketika pemerintah menggaungkan Proyek Strategis Nasional sebagai simbol pembangunan dan kemajuan bangsa, rakyat awam menyambutnya dengan harapan yang menggantung di langit biru. Mereka percaya: jalan akan terbuka, lapangan kerja tercipta, dan kesejahteraan akan menetes dari puncak menara kekuasaan ke halaman rumah-rumah rakyat kecil. Namun, di balik kemegahan narasi itu, tersimpan noktah hitam yang beraroma terselubung—bau manipulasi, bisikan oligarki, dan permainan di balik meja yang menutupi terang informasi publik.
Ruang Gelap Informasi Publik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjamin hak setiap warga negara untuk mengetahui proses kebijakan publik, termasuk proyek-proyek besar yang menggunakan uang rakyat. Namun, di lapangan, akses terhadap informasi PSN seringkali terhalang oleh dinding tebal birokrasi dan alasan “rahasia negara” yang dijadikan tameng untuk menutupi kepentingan tertentu. Masyarakat yang mencoba bertanya, sering kali dianggap pengganggu—bahkan bisa diintimidasi oleh aparat yang seharusnya melindungi.
Padahal, prinsip transparency adalah jantung dari pemerintahan demokratis. Tanpa transparansi, proyek publik menjadi ladang subur bagi maladministrasi, korupsi, dan pengkhianatan terhadap mandat konstitusi.
Manipulasi di Balik Label “Strategis Nasional”. Bukan rahasia lagi bahwa sebagian PSN justru menjadi kedok legal perampasan tanah rakyat. HGU dan HGB diterbitkan tanpa kejelasan batas, tanpa konsultasi publik, bahkan sering kali menabrak hak-hak masyarakat adat dan hukum agraria nasional. Ombudsman RI pernah mencatat, dalam banyak kasus penerbitan sertifikat untuk kepentingan PSN, terdapat praktik manipulatif, rekayasa administrasi, dan maladministrasi sistemik — seolah hukum hanyalah formalitas bagi kekuasaan ekonomi.
Ketika proyek dinyatakan “strategis nasional,” seketika perlawanan rakyat dipersempit. Alat negara bergerak bukan untuk melindungi rakyat, tetapi mengamankan kepentingan korporasi. Di sinilah “strategis” kehilangan makna kemanusiaannya, berubah menjadi tameng hukum bagi kapital yang menyamar sebagai pembangunan.
Etika Publik yang Hilang. Negara seharusnya bukan panggung sandiwara bagi elit yang bermain di atas penderitaan rakyatnya. Good governance menuntut akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik. Namun, aroma terselubung PSN menandakan hilangnya etika publik dalam tubuh birokrasi. Laporan, izin, hingga hasil kajian lingkungan sering disembunyikan. Sementara rakyat yang mempertanyakan justru distigmatisasi sebagai penghambat pembangunan.
Kegelapan informasi ini adalah bentuk pelanggaran terhadap right to know — hak asasi untuk tahu yang diakui dalam berbagai instrumen internasional, seperti Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Hukum yang Diabaikan, Nurani yang Ditinggalkan. Apalah arti pembangunan tanpa keadilan? Apalah arti investasi jika air mata rakyat menjadi pelumasnya? Ketika hukum berpihak pada yang kuat dan rakyat kehilangan suara, maka negara sedang berjalan tanpa kompas moral.
PSN yang seharusnya menjadi mercusuar kemajuan kini berubah menjadi simbol ketimpangan, ketika sertifikat tanah diterbitkan di atas penderitaan. Ombudsman, Komnas HAM, dan lembaga pengawas lainnya seharusnya menjadi penyalur cahaya di ruang gelap ini — bukan sekadar penonton di pinggir panggung kekuasaan.
Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan. Sudah saatnya publik menuntut haknya atas informasi. Sudah saatnya lembaga negara membuka semua data PSN kepada rakyat. Karena transparansi bukan ancaman bagi negara, melainkan penopang bagi legitimasi kekuasaan.
Jika PSN memang bersih, biarkan ia berdiri di bawah cahaya.
Tapi jika di dalamnya tersembunyi manipulasi, biarkan rakyat yang menyalakan lilin-lilin kecil untuk menerangi ruang gelap itu.
“Kegelapan tidak dapat mengusir kegelapan. Hanya cahaya yang bisa.”
Dan cahaya itu bernama: keterbukaan.





