Opini: Bubarkan Partai Politik?

Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum 085340100081

SULSELBERITA.COM. Ada pertanyaan yang berulang kali menghantui ruang publik kita: haruskah sebuah partai politik dibubarkan? Pertanyaan ini seperti gema dari lorong sejarah bangsa, mengguncang dinding-dinding demokrasi yang kita bangun dengan darah, air mata, dan harapan.

Bacaan Lainnya

Partai politik, dalam idealitasnya, adalah saluran aspirasi. Ia ibarat sungai yang mengalirkan kehendak rakyat menuju samudera kebijakan negara. Namun, ketika sungai itu tercemar, ketika airnya berubah keruh oleh ambisi pribadi, korupsi, bahkan pengkhianatan terhadap konstitusi, maka timbullah kegelisahan: apakah sungai itu masih layak dipertahankan, atau harus ditutup alirannya?

Konstitusi kita bukan tanpa jawaban. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berserikat dan berorganisasi. Namun jaminan itu tidak absolut. Ada garis merah: partai tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, tidak boleh memelihara racun yang bisa merusak sendi republik. Itulah sebabnya Undang-Undang Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi diberi wewenang, dalam kondisi ekstrem, untuk memutuskan pembubaran. Hanya pemerintah yang berhak mengajukan, dan hanya MK yang berwenang memutus. Sebuah mekanisme ketat, agar pembubaran bukan sekadar alat politik, melainkan upaya menjaga rumah bangsa tetap berdiri.

Dalam literatur hukum tata negara, pembubaran partai selalu dipandang sebagai remedium ultimum — obat terakhir. Negara hukum demokratis tidak boleh ringan tangan dalam memutus tali organisasi politik, sebab di sanalah hak-hak sipil berakar. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi pun menegaskan: pembubaran hanya dapat dilakukan bila terbukti partai itu melawan UUD 1945, atau bertumpu pada ideologi yang dilarang, seperti komunisme, marxisme-leninisme.

Namun, sejarah kita menyimpan cermin yang perlu direnungkan. Tahun 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan melalui TAP MPRS Nomor XXV/1966 karena dianggap mengancam Pancasila. Pada masa Orde Lama, Partai Masyumi juga dibubarkan setelah dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Di era Reformasi, Partai Rakyat Demokratik (PRD) pernah pula dilarang, meski akhirnya bisa hidup kembali. Sejarah mencatat, partai bisa bubar, tetapi gagasan dan jaringan para elitnya sering kali mencari jalan lain, bereinkarnasi dalam wadah baru. Pembubaran hanyalah solusi legal, bukan jaminan moral.

Bukan hanya Indonesia yang pernah menghadapi dilema ini. Di Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht) membubarkan Partai Sosialis Reich pada 1952 karena dianggap mewarisi semangat Nazi. Bahkan upaya membubarkan Partai Nasional Demokratik Jerman (NPD) pada tahun 2003 dan 2017 menunjukkan betapa hati-hatinya sebuah negara demokratis: meski partai itu berhaluan neo-Nazi, pengadilan menolak pembubaran karena tidak terbukti cukup membahayakan sistem demokrasi. Di Turki, Mahkamah Konstitusi berkali-kali membubarkan partai berhaluan Islam — seperti Refah Partisi tahun 1998 — dengan alasan mengancam sekularisme. Namun setiap kali partai dibubarkan, lahir partai baru dengan wajah dan nama berbeda.

Pelajaran dari sana jelas: pembubaran partai bukanlah akhir dari ideologi, melainkan ujian bagi demokrasi. Seperti di Jerman, pembubaran harus dilakukan dengan standar bukti yang ketat, demi menjaga demokrasi dari penyakit fasisme. Dan seperti di Turki, kita belajar bahwa pembubaran tanpa diiringi pembenahan budaya politik hanya melahirkan lingkaran tanpa ujung: partai bubar, tetapi gagasan tetap hidup dalam wadah lain.

Pertanyaannya lalu kembali menggema: apakah membubarkan partai berarti memutuskan penyakit dari akarnya, atau sekadar memindahkan racun ke wadah lain? Demokrasi yang matang mestinya lebih menekankan akuntabilitas publik: biarlah rakyat sendiri yang menghukum partai dengan tidak memilihnya. Tetapi bila partai itu sudah nyata-nyata melawan konstitusi, mengancam kedaulatan negara, atau memelihara ideologi terlarang, maka negara memang wajib hadir, dan pedang konstitusi harus diayunkan.

Seperti kata seorang pemikir hukum, “Negara hukum hanya akan hidup jika ia sanggup menjaga keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban.” Pembubaran partai adalah pedang bermata dua: ia bisa menjaga republik, tetapi juga bisa melukai demokrasi. Karena itu, setiap seruan pembubaran harus dihadapkan pada cermin konstitusi: apakah benar demi bangsa, atau sekadar demi kuasa?

Rekomendasi Kebijakan ke Depan

Pertama, revisi Undang-Undang Partai Politik diperlukan untuk mempertegas mekanisme demokrasi internal partai, sehingga rakyat tidak hanya memiliki hak memilih di bilik suara, tetapi juga memiliki akses atas transparansi dan akuntabilitas partai.

Kedua, penguatan fungsi Mahkamah Konstitusi agar lebih terbuka dalam menerima amicus curiae atau masukan publik ketika memeriksa permohonan pembubaran. Dengan demikian, keputusan tidak sekadar lahir dari konflik politik pemerintah-partai, melainkan juga dari suara rakyat yang terdampak.

Ketiga, mendorong pendidikan politik berkelanjutan, agar rakyat tidak mudah terperangkap dalam kultus individu atau politik uang. Dengan pendidikan politik, pembubaran partai tidak menjadi satu-satunya obat; rakyat dapat menghukum partai dengan tidak memberinya suara.

Keempat, membangun sistem pengawasan keuangan partai yang lebih ketat, termasuk transparansi donasi dan belanja politik, sebab korupsi sering kali menjadi pintu masuk degradasi partai.

Seruan Moral

Kepada para elit politik: jangan jadikan partai sebagai kapal pribadi yang hanya mengantar kalian ke dermaga kuasa. Ingatlah, partai adalah titipan rakyat, bukan milik segelintir keluarga atau kelompok.

Kepada rakyat: jangan biarkan suara Anda dibeli dengan uang receh atau janji kosong. Ingatlah, kekuatan demokrasi sejati bukan terletak pada pedang pembubaran, melainkan pada tangan-tangan rakyat yang berani menghukum dengan suara.

Dan kepada negara: berhati-hatilah saat menghunus pedang konstitusi. Gunakanlah ia hanya ketika republik benar-benar terancam. Sebab, sekali pedang itu diayunkan, ia bukan hanya memutuskan partai, tetapi juga menguji seberapa kokoh demokrasi yang kita cintai.

Akhirnya, membubarkan partai politik adalah jalan sunyi yang hanya boleh dilalui bila tidak ada lagi jalan lain. Karena pada akhirnya, bukan bubarnya partai yang menentukan masa depan bangsa, melainkan keberanian kita semua — elit maupun rakyat — menjaga api demokrasi tetap menyala.

 

*Tentang Penulis : Muhammad Sirul Haq, SH adalah seorang advokat dan aktivis bantuan hukum yang cukup vokal di Makassar, terutama terkait masalah tanah, waris, dokumentasi kepemilikan lahan, dan pengawasan aparat penegak hukum terhadap prosedur. Ia memimpin organisasi bantuan hukum (LKBH Makassar). Advokat dan konsultan hukum, Pengacara Makassar Indonesia dengan pengalaman dalam litigasi perdata, pidana, agraria, dan hukum administrasi negara. Pimpinan kantor hukum Muhammad Sirul Haq, S.H. & Rekan, aktif mendampingi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam sengketa pertanahan, korban pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan publik serta lingkungan. 085340100081

Pos terkait