Oleh: Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum 085340100081
SULSELBERITA.COM. Makassar – Di negeri ini, kursi jabatan publik kerap diperebutkan dengan nafsu yang membara. Baliho berjejer di jalan, janji ditebar di televisi, bahkan kadang etika dikorbankan demi sebuah kursi. Tetapi, ada satu hal yang justru disembunyikan rapat-rapat: ijazah.
Kertas selembar yang seharusnya sederhana, malah diperlakukan seperti rahasia negara. Padahal, ia bukan sekadar sertifikat akademis. Ijazah adalah legitimasi kapasitas dan dokumen hukum yang memberi bukti perjalanan intelektual seseorang. Pertanyaannya: mengapa rakyat yang menggaji pejabat harus dipaksa menerima “kegelapan ijazah”?
Ijazah dan Hak Publik atas Terang
Konstitusi dan undang-undang kita tidak pernah mengajarkan kerahasiaan untuk jabatan publik. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi… untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.”
Dipertegas lagi dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: “Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan.”
Apakah ijazah termasuk informasi yang dikecualikan? Jelas tidak. Bagaimana mungkin riwayat pendidikan pejabat yang mengelola anggaran dan membuat kebijakan dianggap tidak penting untuk diketahui rakyat?
Dokumen Akademik yang Mengikat Hukum
Bukan hanya soal moral keterbukaan, ijazah juga memiliki konsekuensi hukum. Pasal 28 ayat (6) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan: “Ijazah adalah pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada mahasiswa setelah lulus dari program studinya.”
Pemalsuan atau penggunaan ijazah yang tidak sah bahkan diancam pidana. Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi menegaskan ancaman bagi siapa pun yang dengan sengaja menggunakan ijazah tanpa hak. Artinya, keaslian ijazah pejabat bukan hal remeh; ia bisa menentukan sah atau tidaknya orang itu duduk di kursi kekuasaan.
Putusan Hukum: Integritas Di Atas Segalanya
Sejarah yurisprudensi kita mencatat, persoalan ijazah berulang kali menjadi dasar diskualifikasi pejabat. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 47-81/PHPU.A-VII/2009 misalnya, membatalkan hasil pemilu legislatif di salah satu daerah karena calon terbukti menggunakan ijazah yang tidak sah. MK berpendapat bahwa pemilu yang jujur dan adil menuntut keaslian dokumen pencalonan.
Dalam perkara lain, Mahkamah Agung melalui Putusan No. 12 K/TUN/2001 menegaskan bahwa pemalsuan ijazah adalah pelanggaran serius yang dapat membatalkan keabsahan pengangkatan jabatan. Yurisprudensi ini jelas: negara memilih integritas, meski politik sering mencoba menyelubunginya.
Nafsu Jabatan vs Nurani Publik
Mengapa banyak pejabat menyembunyikan ijazah? Ada yang minder karena pendidikannya sederhana. Ada yang takut terbongkar kejanggalan: ijazah palsu, ijazah beli, atau ijazah dari kampus abal-abal. Ada pula yang berdalih privasi data pribadi.
Namun, dalih ini rapuh. Publik tidak meminta nomor induk mahasiswa atau transkrip nilai, melainkan sekadar bukti sah pendidikan. Begitu seseorang melangkah menjadi pejabat, kepentingan publik mengalahkan privasi personal.
Di sinilah terlihat bahwa nafsu kekuasaan sering lebih besar daripada etika keterbukaan. Rakyat tidak menuntut pejabat bergelar doktor semua. Banyak pemimpin dengan pendidikan sederhana terbukti dekat dan jujur pada rakyat. Yang rakyat lawan adalah pembohongan tentang pendidikan.
Bahaya Ijazah Gelap
Menyembunyikan ijazah berbahaya bagi demokrasi. Ada tiga dampak besar:
1. Kebijakan dibuat tanpa kapasitas. Bayangkan pejabat ekonomi tanpa dasar ilmu yang benar, atau pejabat kesehatan dengan ijazah abal-abal.
2. Kepercayaan publik runtuh. Tanpa transparansi, legitimasi jabatan hilang.
3. Celah korupsi melebar. Jika ijazah saja bisa disembunyikan, apalagi kontrak proyek dan anggaran.
Jalan Terang: Saran bagi Pejabat dan Negara
1. Pejabat: beranilah membuka ijazah. Sahkan melalui perguruan tinggi atau PDDikti, biarkan publik menilai.
2. Institusi negara: standarisasi verifikasi. KPU, Bawaslu, PPID harus punya SOP jelas, dan hasilnya diumumkan.
3. Pembuat kebijakan: perkuat sanksi. Diskualifikasi otomatis bagi penyembunyian atau pemalsuan ijazah.
4. Masyarakat: jangan bungkam. Hak rakyat untuk tahu harus terus diperjuangkan melalui gugatan, permohonan informasi, hingga tekanan publik.
Menjadi pejabat publik adalah pilihan, bukan paksaan. Begitu seseorang memilih jalan itu, ia wajib membuka dirinya, termasuk membuka lembaran akademiknya.
Gaji pejabat berasal dari rakyat. Fasilitas pejabat ditopang rakyat. Kehormatan pejabat berdiri di atas bahu rakyat. Maka tidak pantas bila rakyat justru diperlakukan sebagai orang asing yang tidak boleh tahu riwayat pendidikan pemimpinnya.
Jika ingin jadi pejabat, bukalah ijazahmu. Jika ingin menyembunyikannya, jangan sekali-kali mengaku sebagai pelayan publik. Demokrasi akan sehat hanya bila pemimpinnya berani hidup di bawah cahaya, bukan bersembunyi di balik bayang-bayang.
Berikut beberapa contoh kasus aktual di Indonesia terkait isu ijazah yang dipalsukan, diragukan keasliannya, atau jadi materi sengketa di pemilihan publik. Bisa dijadikan ilustrasi kuat dalam opini hukum:
Contoh Kasus
1. Trisal Tahir – Pilkada Palopo (2025)
Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi calon wali kota Palopo, Trisal Tahir, karena ijazah paket C-nya dinyatakan tidak memenuhi syarat: “tidak dapat dipastikan keasliannya”. Sebagai akibatnya, Pilkada Palopo diperintahkan untuk diulang tanpa menyertakan Trisal.
2. Calon Bupati Kepulauan Talaud – Dugaan Ijazah Palsu
Dalam sidang sengketa PSU (Pemungutan Suara Ulang), ada tuduhan terhadap calon bupati nomor urut 3 di Kepulauan Talaud bahwa ijazah SMA-nya tidak sesuai: diduga menggunakan fotokopi tanpa memiliki dokumen asli dan ijazah diterbitkan oleh sekolah yang bukan tempat calon tersebut mengikuti ujian akhir.
3. PNS di Sumatera Utara – Ijazah Palsu Seleksi CPNS
Seorang PNS di Sumut bekerja selama 7 tahun menggunakan ijazah dan transkrip nilai yang palsu dalam seleksi CPNS tahun 2018. Negara dirugikan sekitar Rp 278,2 juta.
4. Yulias Maulana – Calon Bupati Lahat
Ada desakan agar KPU mendiskualifikasi calon Bupati Lahat jika benar menggunakan ijazah palsu. Pelanggaran tersebut dianggap melanggar ketentuan dalam KUHP dan UU Pemilihan Kepala Daerah.
5. Isu Ijazah Jokowi
Isu bahwa Presiden Jokowi memiliki ijazah palsu muncul beberapa kali. Ada laporan hukum yang mengatakan bahwa status ijazah Jokowi telah dikonfirmasi resmi oleh UGM bahwa beliau memang alumnus Fakultas Kehutanan, lulus tahun 1985, dan pihaknya menyebut bahwa gugatan-gugatan hukum mengenai ijazah tersebut sudah dimenangkan.
Apakah ini terjadi juga pada ijazah Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka periode 2024 – 2029? Jika betul, artinya sudah layak di makzulkan?
*Tentang Penulis : Muhammad Sirul Haq, SH adalah seorang advokat dan aktivis bantuan hukum yang cukup vokal di Makassar, terutama terkait masalah tanah, waris, dokumentasi kepemilikan lahan, dan pengawasan aparat penegak hukum terhadap prosedur. Ia memimpin organisasi bantuan hukum (LKBH Makassar). Advokat dan konsultan hukum, Pengacara Makassar Indonesia dengan pengalaman dalam litigasi perdata, pidana, agraria, dan hukum administrasi negara. Pimpinan kantor hukum Muhammad Sirul Haq, S.H. & Rekan, aktif mendampingi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam sengketa pertanahan, korban pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan publik serta lingkungan. 085340100081





