SULSELBERITA.COM. Jakarta, – Relawan Jokowi Forum Relawan Demokrasi (Foreder), soroti berbagai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dimasa Pandemi Covid-19.
Ketua Umum Foreder, Aidil Fitri menilai hingga saat ini belum ada hal yang benar-benar memberikan solusi terbaik dalam dunia pendidikan.
“Menurut saya sampai sekarang belom ada terobosan yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan,” kata Aidil, Rabu (20/1/21).
Bahkan, lanjut Aidil saat ini masih banyak masalah yang dikeluhkan oleh masyarakat terkait proses pembelajaran. “Kasian masyarakat, ko seakan-akan ngga didengarin si, padahal di medsos banyak bangat kita liat keluhan,” ujarnya.
Lebih jauh, Aidil menegaskan agar Nadiem diganti saja. “Kalau memang tidak sanggup lebih baik mundur atau diganti saja, karena ini bicara masa depan penerus, mungkin Nadiem hanya jago ngurus perusahaan Gojek aja,” tandasnya.
Sebelumnya, seperti dikutip dari RMOL, Direktur Lembaga Kajian dan Analisis Keterbukaan Informasi Publik, Adri Zulpianto menyebut bahwa selama Covid-19 mewabah di Indonesia, Nadiem hanya bisa membuat masalah tanpa solusi dan bukan fokus terhadap penanggulangan Covid-19 dalam bidang pendidikan.
“Nadiem justru mengacak-acak sistem pendidikan. Sebagai menteri, Nadiem gagal mengelola masalah yang terjadi di dunia pendidikan selama Covid-19,” ujar Adri dalam siaran pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/9/20).
Sejak awal Covid-19 menerpa Tanah Air, Adri melihat kebijakan Nadiem yang membuat Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud telah menjadi polemik, dan ditolak oleh dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah.
Baru-baru ini, Nadiem kembali mengeluarkan kebijakan yang kontroversi karena ingin menghapus sejarah sebagai mata pelajaran wajib ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Maka dari itu, Kebijakan yang dikeluarkan Nadiem selama ini tidak mampu menyentuh permasalahan secara implementasi dan fundamental selama masa kedaruratan wabah Covid-19,” katanya.
Lebih lanjut, Adri memaparkan persoalan inti yang dihadapi siswa, orang tua siswa dan juga para guru, yang seharusnya menjadi suatu kebijakan inti dari Kemendikbud.
Pertama, dipaparkannya, adalah persoalan pembelajaran daring yang belakngan muncul banyak masalah. Karena bukannya mengevaluasi hasil belajar siswa, justru setiap sekolah hanya mengedepankan laporan-laporan kinerja guru, bukan laporan evaluasi hasil belajar siswa.
“Setiap hari guru memberikan tugas hanya sebatas mengisi absen, tapi menyerah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Menurut kami, Kemendikbud seharusnya mampu memonitoring dan mengevaluasi secara menyeluruh, bukan hanya kinerja guru, tapi juga perkembangan siswa yang selama ini belajar di rumah,” ucapnya.
Adapun persoalan kedua ialah mengenai metode pembelajaran daring yang tidak mampu mengatasi keterbatasan proses ajar mengajar di sekolah menggunakan daring, yang secara riil tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan finansial orangtua siswa.
“Karena selama kebijakan daring ditetapkan oleh kemendikbud, sebagian besar guru memberikan tugas di hampir setiap harinya, lalu oleh orangtua siswa tugas itu juga di cetak setiap harinya, tugas-tugas yang diberikan dan dicetak hampir setiap hari itu jelas membutuhkan dana yang cukup besar bagi orang tua yang dirumahkan bahkan di PHK karena Covid-19,” papar Adri.
Kemudian untuk persoalan inti ketiga yakni perihal banyaknya guru ekskul yang terbengkalai, karena tidak dapat diakomodir dengan baik kerjanya, dan akhirnya tidak mendapat gaji.
“Selain itu, kami melihat banyak guru ekskul yang tidak diperhatikan sama sekali oleh Kemendikbud, kebijakan kemendikbud dengan meniadakan belajar ekskul ini tidak dapat diterima sama sekali. Selain mendiskriminasi guru ekskul, ini pun memperpanjang masalah perekonomian Indonesia selama covid-19,” jelasnya.
“Guru ekskul di Indonesia tergolong dalam guru silat, guru music, guru seni, guru oleharaga, dan guru budaya. Tentu guru ekskul ini memiliki jumlah yang sangat besar. Selain itu juga, guru ekskul memiliki nilai yang seharusnya diperhatikan, karena mereka mempertahankan eksistensi seni dan budaya di Indonesia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan adat Indonesia,” sambungnya.
Dari rangkaian panjang masalah tersebut, Adri memandang Nadiem tidak mampu menganalisis masalah pendidikan secara menyeluruh, dan tidak mampu mengantisipasi masalah-masalah yang akan terjadi berikutnya.
Seperti misalnya, kebijakan membebaskan sekolah menggunakan dana bos untuk menggaji guru, alih-alih memperhatikan perekonomian di lingkungan pendidikan dengan membebaskan sekolah menggunakan dana BOS sesukanya, justru Dana BOS malah menjadi bancakan oknum-oknum di dunia pendidikan.
“Dan ini juga tidak menjadi perhatian serius oleh kemendikbud.Nadiem sebagai Menteri Kemendikbud hanya menekan kinerja guru di sekolah berbasis laporan foto, tanpa memperhatikan dampak secara menyeluruh didalam maupun diluar sekolah sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh kemendikbud,” ungkapnya.
“Maka dari itu, Nadiem seharusnya fokus saja pada penanggulangan masalah seputar pendidikan, perhatikan bagaimana nasib siswa dan guru ekskul pasca pandemik, bukan malah menghapus sejarah yang seharusnya juga dipelajari oleh Menteri,” demikian Adri Zulpianto menutup. (red)
Editor RB Syafrudin Budiman SIP