Direktur LBH Salewangang Maros, Soroti Pembebasan Lahan Rel Kereta Api

138

SULSELBERITA.COM. Maros – Adalah Bukti Ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan lemahnya instrumen hukum tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah menjelaskan tahapan-tahapan pembebasan lahan untuk kepentingan umum secara kompleks. Ketentuan tersebut juga dilengkapi dengan PERMA Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Penjelasan mengenai proses upaya hukum yang bisa ditempuh warga yang tanahnya akan dibebaskan jika keberatan dengan hasil penetapan besaran ganti rugi yang ditawarkan kepada mereka. Namun kedua instrument hukum tersebut masih sangat lemah dan berpotensi besar untuk dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Advertisement

Alfian Palaguna SH selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kabupaten Maros mengungkapkan sebagian besar proses pembebasan lahan milik warga di berbagai desa/kelurahan yang dilakukan oleh PT.KAI, dan pihak terkait seperti Badan Pertanahan Kabupaten Maros tidak mengindahkan atau menjalankan tahapan-tahapan pembebasan lahan yang di atur dalam undang-undang tersebut secara keseluruhan.

“JIka kita membaca ketentuan pada Pasal 13 jelas dinyatakan ada 4 tahapan dalam pembebasan tanah yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan hasil akhir. Yang saya lihat dilapangan tahapan-tahapan yang paling banyak tidak dijalankan oleh pihak PT.KAI adalah tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan”

“Dalam bagian ketiga undang-undang tersebut berjudul “persiapan pengadaan tanah’ sangat jelas ada yang dinamakan proses “konsultasi publik” dimana kedua belah pihak yaitu pihak yang memerlukan tanah dan warga seharusnya bermusyawarah untuk mencapai sebuah kesepakatan, dan dalam hal tidak ada kesepakatan dalam konsultasi publik tersebut dilakukan konsultasi publik ulang yang pada akhirnya akan berujung pada ditetapkannya nilai besaran ganti kerugian dan penetapan lokasi oleh Gubernur dalam bentuk surat keputusan yang diumumkan ke publik dan yang tentu saja bisa di gugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara jika warga keberatan dengan keputusan tersebut”

Alfian lanjutnya “dalam undang-undang tersebut bagian keempat yang berjudul ‘pelaksanaan pengadaan tanah” ada juga proses yang dinamakan “inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah” yang wajib diumumkan oleh pihak yang memerlukan tanah di kantor desa/kelurahan, kecamatan dan tempat pengadaan tanah agar nantinya jika warga tidak setuju dengan hasil inventarisasi tersebut warga dapat mengajukan keberatan di Lembaga Pertanahan”

“Kemudian setelah dilakukan penilaian oleh tim penilai yang ditunjuk/tim appraisal berdasarkan penetapan lokasi yang ditentukan tadi maka dilaksanakanlah musyawarah penetapan ganti rugi oleh Badan Pertanahan beserta warga dengan membuat berita acara musyawarah. Hasil dari musyawarah dengan Badan Pertanahan tersebutlah yang kemudian dalam jangka 14 hari dapat diajukan keberatan oleh warga ke Pengadilan Negeri jika tidak setuju, dan dapat dilanjutkan melalui upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung RI dalam hal salah satu tidak menerima penetapan pengadilan tersebut. Akhirnya, dalam hal warga tidak memanfaatkan kesempatan 14 hari tersebut untuk mengajukan keberatan, maka pada tahap inilah adalah saat yang tepat bagi pihak yang memerlukan tanah untuk memohonkan permohonan konsinyasi atau penitipan biaya ganti rugi untuk warga kepadai Pengadilan Negeri setempat”

Kenyataanya dua dari perkara permohonan konsinyasi PT.KAI dalam hal ini Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Bagian Timur Kantor Pengadaan Tanah Kabupaten Maros selaku Pemohon di PN Maros yang dilayangkan kepada warga yang saya dampingi di desa Tellupoccoe selaku Termohon, dilakukan tanpa terlebih dahulu melalui tahapan-tahapan yang telah disebutkan di atas, jelas permohonan konsinyasi tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 42 Undang-undang No.2/2012 dan ketentuan Pasal 24 Perma No.3/2016 yang menyatakan salah satu syarat bermohon konsinyasi adalah Termohon/warga tidak memanfaatkan waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Setempat, padahal warga belum mengajukan keberatan tentu saja karena tahapan yang dimulai dari proses konsultasi publik hingga musyawarah di BPN Maros tersebut tidak dilaksanakan oleh Balai Perkeretaapian secara menyeluruh”

“Satu dari dua perkara tersebut kemarin telah saya hadiri dan juga telah memberikan bantahan secara tertulis yang pada intinya menjelaskan bahwa Pemohon konsinyasi tidak melaksanakan tahapan penting dalam UU No.2/2012 secara keseluruhan, dan tinggal menunggu agenda sidang kedua hari senin tanggal 12 Oktober 2020 untuk agenda tanggapan atas bantahan kami yang kemungkinan juga akan langsung disertai dengan pembuktian. Sedangkan perkara permohonan konsinyasi satunya lagi, sangat disayangkan baru kami terima atau ketahui pada akhir September 2020 dan dikuasakan kepada kami LBH Salewangang tanggal 8 Oktober 2020 kemarin, ternyata panggilan sidang pertama dari Termohon/warga tersebut telah diberikan oleh jurusita PN Maros tanggal 24 September 2020 dan telah diputus pada hari yang sama, yang mana dalam penetapannya hakim menerima Permohonan Konsinyasi Pemohon tanpa terlebih dahulu memanggil Termohon secara resmi untuk kedua atau ketiga kalinya untuk menghadiri sidang berikutnya dan mengajukan bantahan lisan atau tertulis terhadap permohonan konsinyasi”

Dari gambaran kedua perkara konsinyasi di Pengadilan Negeri Maros tersebut terlihat jelas kelemahan dalam kedua instrument hukum mengenai pembebasan lahan di Indonesia, yaitu; mengenai dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat permohonan konsinyasi dalam Pasal 25 (2) Perma No.3/2016 oleh pemohon atau benar tidaknya surat-surat bukti yang diajukan oleh pemohon konsinyasi tersebut seharusnya diperiksa terlebih dahulu dalam sebuah agenda pemeriksaan berkas yang juga melibatkan pihak Termohon sebelum hakim memutuskan atau menetapkan menerima atau menolak permohonan konsinyasi Pemohon

Putusan hakim dalam bentuk penetapan yang dilakukan tanpa kehadiran warga selaku Termohon tentu saja adalah sebuah bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, kecuali dalam hal Termohon tidak hadir setelah dipanggil secara resmi sebanyak 3 (tiga) kali untuk menghadap persidangan. Sekalipun demikian, dalam hal Termohon tidak hadir seharusnya hakim tetap diwajibkan untuk memeriksa kebenaran dari bukti-bukti surat dari pemohon dalam agenda sidang pemeriksaan, karena tetap ada kemungkinan permohonan konsinyasi pemohon tidak didahului tahapan-tahapan pembebasan lahan yang di atur dalam UU No.2/2012 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

Berikutnya, perkara permohonan konsinyasi yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri dalam bentuk penetapan ini seharusnya bisa diajukan upaya hukum kasasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 46 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan ketentuan Pasal 30 (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, karena dalam kenyataannya pada perkara permohonan konsinyasi di PN

Maros di atas, Pemohon tidak memenuhi syarat Pasal 42 UU No.2/2012 dan Pasal 24 Perma No.3/2016 yang menyatakan permohonan kasasi dilakukan karena warga tidak memanfaatkan haknya mengajukan keberatan, padahal faktanya bagaimana mungkin warga mengajukan keberatan sedangkan tahapan-tahapan sebelumnya mulai dari konsultasi publik hingga musyawarah penetapan ganti rugi tidak dillaksanakan oleh Pemohon secara menyeluruh; tanpa diberikan kewenangab untuk mengajukan upaya kasasi secara tegas dalam ketentuan undang-undang tentu saja sam dengab menghalangi warga mencari dan menegakkan keadilan

Sekali lagi saya ulangi bahwa tanpa mengatur hal-hal penting tersebut di atas maka tentu saja sangat mencederai rasa keadilan masyarakat dan menyisakan celah hukum yang sangat lebar dan berpotensi besar dimanfaatkan oleh para koruptor yang hanya ingin memperkaya diri mereka sendiri dalam mengelola proyek-proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini, tidak hanya itu ketidakadilan dalam system pembebasan lahan ini akan selalu menimbulkan gesekan di antara warga dan pihak yang memerlukan tanah. Kejadian pertikaian dibeberapa wilayah pembebasan rel kereta api di Sulawesi Selatan dan demo warga yang terjadi kemarin tanggal 8 Oktober 20202 di sejumlah kantor pemerintah di kabupaten Maros adalah imbas dari kelemahan instrument hukum ini

Saat ini kami hanya bisa berharap kedepannya ada revisi pada kedua Instrumen hukum tersebut demi keadilan dan kemakmuran rakyat. dikemudian hari, karena sebelumnya UU ini telah ajukan Judicial Review dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi” tegas Alfian.(cp5)