Buruh Tak Diperdulikan Tetap Kerja Di Tengah Pandemi Covid-19

464

SULSELBERITA.COM. Jakarta - Di tengah pandemi Virus Corona (Covid-19) dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ribuan buruh tetap melakukan aktivitas kerja, tanpa kepedulian dari Pemerintah dan Pengusaha.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menyampaikan, kondisi sulit ini jangan dimanfaatkan untuk malah mengacuhkan dan mempermain-mainkan buruh.

Buruh, tegasnya, harus dilindungi dan diberikan jaminan kesejahteraannya oleh pemerintah dan pengusaha.

“Jangan jadi bersengaja membuat buruh marah ya,”ujar Elly Rosita Silaban, Senin (25/05/2020).

Elly Rosita Silaban menyampaikan, adanya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja (SE Menaker) Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 Tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 yang sudah diterbitkan pada 6 Mei 2020 lalu, hingga kini menimbulkan polemic di kalangan masyarakat.

“Sebelum Surat Edaran itu diterbitkan, sudah menulai polemik di kalangan buruh. Sehingga terjadi penolakan. Karena isi Surat Edaran itu memperbolehkan pengusaha untuk mencicil atau menunda pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR),”jelasnya.

Menteri Tenaga Kerja, lanjut Elly, seharusnya bertindak tegas menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Yang mewajibkan pengusaha membayar THR kepada buruh sebesar 1 bulan gaji untuk buruh yang sudah 1 tahun bekerja.

Alasannya kondisi pandemi Virus Corona (Covid-19) dan situasi cash flow perusahaan yang defisit, tidak bisa ditolerir.

“THR itu tidak dapat dinegosiasikan. Kalau pun ada kesepakatan untuk nyicil, ya harus dibayarkan sebelum tahun berakhir,”ujarnya.

Ingat, katanya lagi, buruh paham tentang kondisi perusahaan. Sebaiknya, buruh diajak berdiskusi.

“Jangan diputuskan sepihak. Itu yang membuat buruh marah, dan menolak Surat Edaran Menaker itu,”tuturnya.

Perlakuan diskriminatif, lanjut Elly, juga dialami buruh dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Menurut Pasal 59 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, sangat jelas. Salah satunya, bahwa ketika PSBB diberlakukan maka tempat kerja harus diliburkan.

“Maka, konsekuensi dari pemberlakuan PSBB itu, seharusnya buruh diliburkan. Tetapi faktanya, sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum meliburkan karyawannya. Kondisi ini sangat dilema bagi buruh. Buruh ketakutan jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak digaji. Sehingga, mereka mengabaikan nyawa,”imbuhnya.

Untuk itu, KSBSI mendorong agar tetap dilakukan negosiasi. “Kami sendiri melakukan negosiasi dengan manajemen perusahaan, untuk dilakukan pembagian shift kerja, kemudian pengurangan jam kerja, hari kerja. Ada kok yang berhasil. Yang penting, jangan memaksakan kehendak. Karena kita tidak mungkin memaksakan kondisi seperti normal sediakala, di situasi yang tidak normal ini,”ujar Elly Rosita Silaban.

Kalau pun ada buruh yang bekerja dengan jadwal normal, lanjutnya, perusahaan harus menyediakan Alat Pelindung Diri (APD), masker, hand sanitizer, disinfectant, dan dilakukan pemeriksaan suhu badan. Ditambah dengan pemberian vitamin.

“Memang, buruh meminta upah dibayarkan penuh saat diliburkan. Masalahnya, kan belum ada protokol perlindungan upah saat terjadi wabah Covid-19 ini,”lanjutnya.

Hanya saja, menurut dia, pengusaha banyak yang membuat pandemi Covid-19 ini sama dengan force majeure. Soalnya, di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak diatur dengan jelas apa saja yang termasuk force majeure itu.

“Apakah ikut pandemi Virus Corona sebagai force majeure, itu tidak diatur,”sebutnya.

Dia menekankan, Pemerintah harus tegas kalau mau memberlakukan PSBB. Jangan ada celah untuk usaha yang tetap beroperasi.

Di sinilah kehadiran APBN dan APBD dapat dialokasikan sebagai pengganti, bagi buruh yang diliburkan.

“Khususnya, buruh di sektor manufacture. Kan tidak ada Work From Home (WFH) bagi buruh manufacture,”ungkap Elly.

Pengalokasian APBN dan APBD di sektor buruh, lanjutnya, terutama di masa Covid-19 ini, hampir tak ada.

“Justru, di sinilah kami melihat adanya diskriminasi tergadap buruh. Padahal, kita ini sama-sama warga Negara yang harus dilindungi. Sudah saatnya, Pemerintah segera melakukan rapid test kepada buruh-buruh yang masih tetap bekerja,”jelasnya.

Di saat yang bersamaan, Pemerintah juga kembali menaikkan Iuran BPJS Kesehatan. Menurut Elly Rosita, kenaikan Iuran BPJS Kesehatan itu tidak tepat waktunya.

“Di saat masyarakat, terutama buruh sedang menghadapi horor PHK kok malah dinaikkan iuran BPJS Kesehatan. Bagaimana mereka dapat mengiur di saat mereka tidak digaji dan kehilangan pekerjaan? Padahal putusan Mahkamah Agung (MA) kan baru saja diputuskan. Kok putusan MA hanya berlaku semala 3 bulan? April, Mei dan Juni saja,”terangnya.

Dalam penetapan kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan itu, lanjutnya, KSBSI melihat Pemerintah melanggar ketentuan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), yang menyatakan, Pemerintah membayar iuran Jaminan Kesehatan Rakyat Miskin (JKN).

Tetapi, kok di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ini, peserta klas 3 Mandiri yaitu Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) disubsidi sebesar Rp 16.500 oleh Pemerintah. Dan itu akan diberlakukan mulai 1 Juli 2020.

“KSBSI melihat, ada peserta PBPU dan BP yang mampu, tapi iurannya kok disubsidi pemerintah. Pemerintah harus melihat kemampuan masyarakat, apabila ingin menaikkan iuran dengan mengacu ke pasal 38 di Pepres ini. Yang berbunyi kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat,” tandas Elly Rosita Silaban.***