SULSELBERITA.COM – Di sini tempat harapan segenap perasaan, menjelajah katanya sebuah keharusan, biarkan mereka di lepas di institusi pendidikan sebagai investasi kelas dimasa tua
Pendidikan telah menjadi tema perbincangan nasional yang begitu hangat, mungkin karena pendidikan sebagai batu loncatan untuk kesuksesan esok hari, atau mungkin karena pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan.
Salah satu jalan terbaik yah anak harus sekolah, biar kita sebagai orang tua senang, setidaknya penderitaan orang tua sebagai petani atau pengembala sapi tidak menjadi menjadi boomerang bagi anak-anak kelak dikemudian hari, biarkan mereka mengenal dunia melalui proses pendidikan. Itulah yang diingkan orangtua kepada anak-anaknya.
Karena orangtuaku lahir di jaman Orba, maka mungkin saja doktrin agar anaknya jadi PNS lebih membara ketimbang menjadi petani.
Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea IV tertuang bahwa ” mencerdaskan kehidupan bangsa ” . Telah banyak kita jumpai bahkan kita rasakan sendiri bisikan-bisakan bahwa “pendidikan sebagai alat untuk ~memiskinkan~ mencerdaskan makanya kita harus sekolah untuk cerdas” .
Kadang pula kita jumpai pidato-pidato birokrasi yang mengatakan bahwa ” tak masalah jual sawah, tanah, dan kepemilikan lainnya demi pendidikan seorang anak ” . Parahnya ungkapan seperti ini masih terlalu banyak dilestarikan bahkan dikonsumsi oleh masyarakat banyak, khususnya orang tua. Sehingga tak sedikit orangtua yang menjual harta kekayaannya demi pendidikan anaknya, namun pendidikan tak menjamin bahwa anak akan menjadi apapun yang ia impikan esok hari, justru terkadang setelah kita menyelesaikan pendidikan, kita hanya kembali kerumah tanpa pekerjaan, bahkan parahnya kadang kita jadi pengagguran, karena sawah yang tadinya bisa kita olah tuk bisa menuai hasil itu sudah tak lagi ada, karena telah terjual demi pendidikan tadi. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pendidikan bukan lagi sebagai alat untuk mencerdaskan, namun alat untuk memiskinkan. Mungkin inilah salah satu kekerasan simbolik ala Bordieu , bahwa kita cenderung membenarkan perkataan orang-orang yang berpangkat misalnya, kita seakan benda mati yang harus ikut dan tunduk pada benda hidup.
Berbeda dengan Poulo Freire melihat pendidikan, bahwa pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan untuk penguasaan atau dominasi penguasa. Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan agar kita mampu menggarap potensi realitas manusia. Makanya kita harus bertumpu pada metodologi prinsip bertindak untuk merubah kenyataan sosial yang menindas. Freire menawarkan ilmu praxis, bahwa pikiran dan tindakan itu senantiasa harus berbanding lurus. Disisi lain Freire juga menuai kritikan yang dituangkan dalam bukunya, salah satu kritiknya yaitu kita masih banyak menerima metodologi antagonisme pendidikan gaya bank, misalnya guru seakan akan tahu segalanya, dan murid tak tahu apa apa. Guru memilih dan memaksakan kehendaknya , murid menurutinya. Karena selalu kita anggap sebagai kebenaran mutlak, guru selalu kita jadikan sebagai pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah jika murid tak jauh beda dari gurunya yang kadang kita sebut manusia ideal.
Dari pandangan ini bisa kita pahami bahwa
wajah pendidikan hari ini, masih terlalu banyak melakukan indoktrinisasi ideologi , sehingga watak copy pasti tak bisa terhindarkan, karena anak tak pernah dibekali menanam dan bercocok tanam, anak hanya dibekali sesuatu yang sifatnya moralis, sehingga apapun yang dilakukan seorang murid meskipun itu benar bagi dirinya dan bagi seorang guru tidak, maka itu tetaplah salah, jikalau murid membantah itu adalah dosa. Nah pendidikan yang seperti inilah terlalu banyak kita konsumsi.
Bahasa-bahasa agama selalu dijadikan legalitas moral untuk membuat seorang murid untuk tunduk dan patuh terhadap apa yang dikatakan oleh seorang guru. Banyak kita jumpai hal-hal seperti ini, misalnya ” jangan melawan gurumu karena guru adalah orang tuamu hanya harus tunduk dan patuh, karena jika kau melawan kau akan berdosa dan masuk neraka nak” . Jadi dalam dunia pendidikan terlalu banyak kita jumpai kekerasan simbolik ala Bordieu, Agama dijadikan sebagai legalitas ala Budi Hardiman, atau agama adalah candu ala Marx.
Parahnya juga pendidikan hari ini masih banyak orang yang tidak mampu menjangkau karena faktor ekonomi, untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi juga butuh biaya yang cukup tinggi pula, makanya tidak sedikit orang yang mengeluh akan hal itu. Tapi negara sebagai instrumen persetujuan kolektif , harus mampu memberikan hak-hak rakyat sesuai surplus sosial, salah satunya hak pendidikan. Juga sudah dijelaskan dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa negara punya tanggung jawab penuh akan hak pendidikan. Pasal 31 ayat satu disebutkan bahwa ” setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pada pasal 2 disebutkan bahwa ” setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan negara wajib membiayainya. Jadi mereka seharusnya diberikan fasilitas pendidikan dasar gratis oleh negara, baik itu biaya sekolah maupun perlengkapan – perlengkapan dasar yang dapat mendukung proses pendidikannya, dan memang kita menginginkan hal itu. Tapi realita hari ini masih banyak kita jumpai anak yang tidak mampu menjangkau pendidikan karena faktor ekonomi, katanya dijamin negara tapi kenapa masih ada yang tidak dapat menjangkau pendidikan ? Pertanyaan seperti itu akan terus muncul jika kita masih percaya aturan tertulis. Kita terlalu banyak melestarikan janji tanpa realisasi.
Jadi, dalam dunia pendidikan telah banyak terjadi pergeseran esensi dari tujuan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang termaktub
dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” . Karena sejatinya pendidikan hadir untuk humanisasi, bukan dehumanisasi .
Menulis hanya ketika lapar !
Penulis : Sulfikar
( mahasiswa Peradilan Agama UIN Alauddin Makassar )
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *