SULSELBERITA.COM – Tanggal 21 april menjadi hari yang terus diramaikan oleh masyarakat Indonesia. Mulai dari aktivis yang tentunya gencar mengadakan diskusi tentang isu isu perempuan, politikus, budaya, pembacaan puisi dikalangan anak sastra, pertunjukan seni, kaum milineal yang tetap eksis memajang foto di media social dengan caption selamat hari Kartini, tanpa paham bagaimana perjuangan seorang R.A Kartini, dan jenjang anak-anak sekolah yang dirias ala perempuan perempuan Jawa.
R.A Kartini sebagai pahlawan nasional tertuang dalam keputusan Presiden RI no.108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964, Ir Soekarno sebagai Presiden pertama RI menetapkan hari lahir Kartini tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Diangkatnya beliau sebagai Pahlawan Nasional karna perjuangan dan keberaniannya sehingga mampu membangkitkan semangat pemuda terlebih perempuan. Beliau adalah sosok wanita yang selalu menyuarakan emansipasi wanita yaitu harus merdeka dari semua bentuk eksploitasi, baik pendidikan, ekonomi, politik, seksual dan kultural.
Seiring perkembangannya perempuan mulai bisa mendapatkan hak untuk berpendidikan serta keterlibatan terhadap beberapa sector, baik menduduki posisi penting di parlemen, menjadi pemimpin-pemimpin organisasi sampai menjadi rector perguruan tinggi. Namun semua itu belum bisa sepenuhnya membuat perempuan bebas dari segala bentuk diskriminasi ataupun eskploitasi Baik dalam Hukum, budaya, Ekonomi dan lain sebagainya. Dalam skala buruh, banyaknya buruh perempuan yang juga tidak mendapatkan haknya. Gaji yang tak seperti buruh laki-laki, serta seringnya menjadi objek pelecehan seksual ditempat kerja. Kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi, mulai dari kekerasan berbasis gender dan fisik. Data dari Komnas perempuan sepanjang tahun 2019 tercatat 431.471 kasus dan mengalami peningkatan sepanjang lima tahun terakhir.
Tidak adanya payung hukum yang memberikan keadilan perempuan. Ketika kasus yang didapat pada perempuan adalah pemerkosaan, pelaku jelas akan dihukum sesuai hukum yang berlaku. Tapi bagaimana dengan Korban, yang tentunya akan mengalami kondisi psikis yang tidak stabil, atau alat vital yang terluka dan masih banyak lagi. Apakah Negara tidak bertanggung jawab atas hal tersebut? Maka dari itu banyaknya aktivis perempuan yang menyuarakan untuk secepatnya mensahkan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan kekerasan Seksual) sebagai solusi payung hukum yang tepat untuk Perempuan.
Melihat kondisi perempuan yang sampai saat ini terus mengalami diskriminasi, maka dari itu merefleksi kembali Api semangat perjuangan Kartini bahwa perempuan harus cerdas dan konseptor, ikut andil dalam mengawal pembebasan pada perempuan,buruh, petani, kaum miskin kota, nelayan serta semua yang mengalami penindasan. Bukan malah melanggengkan kapitalisme dengan menjadi objek standar kecantikan yang sengaja dibuat oleh kapitalis. Cantik itu harus putih, langsing, tinggi, sehingga membuat kita lupa dengan persoalan yang mencoba merampas hak hak rakyat. Seperti Kata Karl Marx kemajuan social dilihat dari seberapa besar peran perempuan dalam masyarakat.
Seperti Reklamasi salah satu pemicu terjadinya kerusakan lingkungan ini ketika kita berbicara masalah lingkungan dan ini terjadi di Kabupaten Majene yang melibatkan dua kecamatan yaitu kec.Bangga dan Kec.Banggae Timur sejak tahun 2019. Padahal jelas proyek reklamasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan Kepres no.122 tahun 2012, pada drafnya mengatakan pembangunan harus meninjau dampak lingkungan dan social ekonomi. Di masa pandemic covid 19 ini Pemkab Majene malah melakukan kesepakatan untuk melanjutkan padahal diahkir tahun 2019 sempat berhenti.
Dan ini cukup kontradiktif, pasalnya Pandemi ini bukan hanya satu atau dua wilayah yang terdampak namun di beberapa Negara yang menimbulkan dampak yang sangat kompleks. Dalam skala ekonomi saja ini sudah mampu menurukan produktifitas disetiap Negara, dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat Pandemi Covid 19 ini nantinya akan mampu mengakibatkan krisis pangan bahkan inflasi jika terus berlangsung dan diabaikan. Harusnya pemerintah kab.Majene lebih focus kepada pencegahan penyebaran Covid 19, serta menyalurkan subsidi kebutuhan mendesak kepada masyarakat.
Namun Pemda tetap melanjutkan proyek reklamasi dengan dalilh pertumbuhan ekonomi tapi tak berdampak pada kesejahteraan. ternyata menimbulkan kesengsaraan bukan hanya pada nelayan tapi juga perempuan. Mereka harus kehilangan satu satunya mata pencahariannya, bahkan anak mereka bisa sekolah itu semata mata dari hasil melaut. hal ini karena hasil tangkapan yang tentunya menurun, kapal nelayan yang karam dan membuat laut menjadi dangkal, padahal perempuan biasa mengola ataupun menjual dipasar hasil tangkapan dari suaminya. laki-laki melaut sedangkan aktivitas ekonomi banyak dilakukan oleh perempuan di peisisir. Perempuann pesisir dan perempuan nelayan nantinya akan terdampak beban ganda akibat pembangunan yang tidak memperhatikan keadilan gender. Proyek reklamasi membuat kehidupan pesisir terancam.
Maka dari itu perempuan harus menjadi garda terdepan mengawal persoalan yang terjadi dalam masyarakat sebab Perubahan tak akan terjadi tanpa keterlibatan perempuan.
Penulis : Mutma Vallejo
(Aktivis Perempuan Majene)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *