SULSELBERITA.COM.- PejuangIslam generasi awal merupakan manifestasi dari sifat ‘rāhmān’ dan ‘rāhim’-Nya di muka Bumi. Mereka sangat teguh pendiriannya dan sangat yakin terhadap apa yang dijanjikan oleh Nabinya. Di antara mereka, ada yang rela meninggalkan harta bendanya, keluarganya, bahkan ayah dan ibunya demi mengikuti dan memperjuangkan Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Mereka beriman dengan penuh kekhusyukan terhadap nilai-nilai Islam yang dicontohkan oleh ‘al-āmiin’ sehingga disaat mereka sampai pada level keimanan yang sempurna. Ujian demi ujian datang bertubi-tubi sebagai janji yang pasti dari Rabb semesta alam.
“Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S:[2]:155).
Ujian ini begitu nampak ketika di antara mereka dijemur di bawah terik matahari dan ditindih perutnya dengan batu yang besar oleh majikannya. Tidak hanya sampai disitu bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah disaat Sumayyah ditusuk kemaluannya oleh Abu Jahal. Hingga sejarah mencatat bahwa ia merupakan perempuan pertama yang mati syahid. Ngeri bukan? Apakah hanya sampai disitu?
Tidak! Justru Allah menghendaki agar ujian itu lebih ditingkatkan levelnya, guna menjadikan pahlawan Islam lebih berkualitas lagi. Ujian “jiwa” Itu akhirnya bermuara pada sebuah perang yang kita kenal dengan istilah “perang badar”. Mengapa perang badar disebut sebagai ujian jiwa? Karena di Badarlah para pahlawan Islam harus berhadapan dengan sanak keluarganya dan karib-kerabatnya. Mereka harus saling membunuh satu sama lain demi membela apa yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran.
Itulah ujian yang dilalui oleh pejuang Islam generasi awal. Sebuah perjuangan yang semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya, sebuah perjuangan yang tidak teracuni dengan tendensi kemewahan duniawi. Mereka jualah yang paling pantas dilabeli sebagai generasi yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman.!! Taatilah Allah dan Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri di antara kalian,,,“ (Q.S:[3]:59).
Setelah Islam dibela dan diperjuangkan mati-matian oleh para generasi awal sampailah agama ini kepada kita. Agama yang kita klaim sebagai kebenaran absolut yang paling suci dan paling terjaga kitabnya. Semua agama salah kecuali Islam; semua yang tidak masuk islam adalah kafir; semua yang kafir maka tempatnya Neraka. Bukankah itu yang sering kita ucapkan?
Itulah gaya Islamnya generasi sekarang. Kita begitu pongah mengatasnamakan kebenaran sedangkan kita tidak berada di atas jalan kebenaran itu. Kita hanya mengklaim sedangkan tindakan kita sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bahkan tidak jarang ada yang begitu tega menyalahgunakan ayat-ayat suci demi kepentingan pribadinya. Maka pantaslah jika Ali r.a mengatakan bahwa, “mereka menjadikan agama sebagai penutup mata hati”.
Sadarkah umat Islam sekarang bahwa mereka telah menginjak-injak dan meludahi sendi-sendi agama yang telah susah payah ditancapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para syuhada. Bukankah ‘al-amiin’ mengajarkan tentang kesederhanaan? Namun mengapa praktik-praktik memperkaya diri dan bermegah-megahan masih saja dilakukan? Bukankah pula Muhammad SAW menjadikan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya? Bahkan beliau bersabda, “Sebaik-baik rumah adalah yang didalamnya ada anak yatim”. Lalu mengapa hal ini tidak diindahkan? Sungguh sangat memilukan.
Lantaran itu Sayyib Quthb sebagaimana dalam meyakini Islam bahwa, “merupakan agama yang tidak boleh kita kerjakan sebagiannya saja dan meninggalkan sebagian yang lain, tapi Islam merupakan manhaj yang utuh dan saling berkaitan antara amal yang satu dengan yang lainnya”. Maka dari itu, seorang muslim yang sejati tidak sepantasnya sombong dan berbangga diri hanya karena ia rajin pergi shalat berjamaah di masjid. Harusnya ia malu jika shalatnya tidak sampai mampu mendorong hatinya untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin.
Bukankah malu merupakan salah satu dari cabang iman? Dan tidaklah malu itu datang melainkan membawa kebaikan? Aku yakin, umat islam mengetahui itu semua. Lantas dimana rasa malu itu ketika Allah berfirman dengan teguran yang amat mencekam.
“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat ria dan enggan memberi bantuan” (Q.S:[107]:1-7).
Jika rasa malu itu tidak muncul, maka umat generasi sekarang tidak layak dikategorikan sebagai umat yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mungkin tidak berlebihan jika umat islam sekarang dikategorikan sebagai penyembah “berhala hedonis”, yang kerjanya hanya mengikut secara membabi-buta kepada orang yang ia anggap dapat mengancam jabatan yang disandangnya. Mereka begitu takut jika sampai-sampai kebenaran yang disampaikannya justru membuatnya dipecat dari jabatannya. Dalam kondisi umat yang seperti ini, pantaskah agama ini mengharapkan sebuah kemenangan? Atau bahkan pertolongan dari-Nya?
Hingga pada akhirnya, umat ini harus mengakui kegagalannya dalam memahami firman-Nya, “,,, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,,,” (Q.S:[13]:11).
PENULIS : M Tasbih, Jurusan Ahwal Syakhshiyah Universitas Muhammadiyah Makassar.
*Tulisan tanggungjawab penuh penulis*