Oleh : Arfiudin A, S.Hut
SULSELBERITA.COM. 1 Desember 2015 – Bencana ekologis yang berulang di Sumatra bukan lagi sekadar catatan kaki dalam berita musiman. Ia telah berubah menjadi potret telanjang dari rusaknya hubungan manusia dengan hutan hubungan yang dahulu harmonis, namun kini menjadi timpang karena ambisi dan kerakusan manusia yang tak pernah terbatas.
Sumatra, pulau yang dahulu dikenal sebagai salah satu paru-paru Nusantara, kini menanggung beban kerusakan yang semakin mengkhawatirkan. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan perlahan terkikis oleh ekspansi ekonomi yang tidak terkendali: pembalakan liar terus merongrong, izin yang tumpang tindih memotong ruang hidup satwa, sementara kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana tahunan yang sulit dipadamkan.
Pada akhirnya, masyarakat kecil yang berada di hilir menjadi korban nyata dari keputusan-keputusan yang tidak berpihak pada keberlanjutan.
Ketika hujan turun deras, tanah yang kehilangan akarnya tak lagi mampu menahan air. Longsor pun menjadi ancaman yang muncul tanpa aba-aba, merenggut rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa. Ketika kemarau tiba, gambut yang terbuka dan kering menjadi bara yang mudah menyala, menyebarkan asap hingga melintasi batas provinsi dan negara.
Semua itu bukan kesalahan alam; ini adalah konsekuensi dari ulah manusia yang memutus keseimbangan yang telah dijaga berabad-abad.
Di balik itu semua, kita melihat kelemahan serius dalam tata kelola hutan. Regulasi yang ada kerap kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Pengawasan di lapangan tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus dijaga, sementara praktik koruptif dan pembiaran menjadikan para perusak lingkungan seolah kebal hukum.
Dalam kondisi seperti ini, hutan hanya dipandang sebagai objek ekonomi, bukan sebagai ruang hidup yang menyelamatkan manusia dari bencana.
Namun bencana di Sumatra harus menjadi momentum untuk mereformasi cara kita memandang hutan. Hutan bukan hanya kumpulan pohon; ia adalah sistem ekologis yang kompleks rumah bagi satwa, reservoir air, penjaga tanah, pengatur iklim, dan ruang hidup masyarakat adat. Ketika kita merusaknya, maka kita sedang meruntuhkan fondasi peradaban kita sendiri.
Pemerintah memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan. Penguatan izin berbasis daya dukung lingkungan, penegakan hukum tanpa pandang bulu, restorasi gambut dan hutan kritis, serta pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama. Tidak kalah penting, dunia usaha harus keluar dari paradigma eksploitasi dan masuk ke era produksi berkelanjutan yang menghargai batas-batas ekologis.
Masyarakat pun memiliki peran besar mulai dari mengawasi proses perizinan, menolak praktik-praktik ilegal di wilayahnya, hingga menanamkan kesadaran pada generasi muda bahwa hutan bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu.
Bencana di Sumatra sesungguhnya adalah pesan yang sangat jelas: alam telah memberikan peringatan. Jika keserakahan tidak dibatasi hari ini, maka esok bencana akan lebih besar, lebih luas, dan lebih sulit dipulihkan. Ini bukan lagi soal lingkungan semata, tetapi soal keberlangsungan hidup manusia.
Sumatra boleh saja terluka, namun luka itu masih bisa disembuhkan asal ada keberanian politik, ketegasan hukum, dan kemauan kolektif untuk kembali menghormati hutan sebagai bagian dari kehidupan, bukan sekadar sumber keuntungan.




