Opini: Merajut Kembali Minat Siswa di Era Serba Instan

Oleh Nurhayati

SULSELBERITA.COM. Selama beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru yang cukup kompleks yaitu menurunnya minat belajar di kalangan siswa. Fenomena ini bukan sekedar persoalan malas belajar, melainkan cerminan perubahan budaya dan cara pandang terhadap proses belajar itu sendiri. Era sekarang adalah masa ketika segala sesuatu dapat diperoleh secara instan mulai dari informasi, hiburan, hingga pengakuan sosial.

Bacaan Lainnya

Hari Pahlawan Nasional Tahun 2025

Hari Pahlawan Nasional Tahun 2025

Segalanya berlangsung dengan cepat, mudah, dan selalu tersedia di ujung jari. Dalam kondisi seperti ini, proses belajar yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan rasa ingin tahu yang dalam mulai dianggap kuno oleh sebagian generasi muda.

Teknologi digital yang semestinya menjadi jembatan menuju pengetahuan justru kerap berbalik menjadi jurang pengalih perhatian.

Gawai yang seharusnya dimanfaatkan sebagai sarana belajar kini lebih sering digunakan untuk hiburan.

Siswa dengan mudah berpindah dari satu video ke video yang lain, dari satu game ke game berikutnya, hingga tanpa sadar kehilangan waktu dan fokus untuk belajar.

Di sisi lain, Sistem pendidikan masih menitikberatkan pada hasil seperti nilai dan sertifikat, bukan pada proses dan rasa ingin tahu. Padahal, minat belajar hanya dapat tumbuh melalui pengalaman belajar yang bermakna, eksploratif, dan menyenangkan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi para pendidik, orang tua, dan masyarakat luas.

Bagaimana menumbuhkan kembali minat belajar di tengah budaya instan serta membentuk sikap belajar yang bukan hanya berorientasi pada hasil cepat, tetapi juga menghargai proses, kegigihan, dan kesabaran dalam mencari pengetahuan. karena sejatinya, pendidikan bukan sekedar transfer informasi, melainkan upaya membentuk manuasia yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berdaya dalam menghadapi kehidupan yang terus berubah.

Budaya Instan dan Lunturnya Daya Juang Belajar.

Hidup di tengah arus serba cepat membuat banyak siswa lebih akrab dengan hasil ketimbang proses.

Ketika jawaban tersedia dalam hitungan detik, rasa ingin tahu dan kegigihan mudah terkikis.

Kelas lalu terasa lambat, sementara distraksi digital menawarkan gratifikasi segera. Jalan keluarnya bukan anti teknologi, melainkan mengembalikan pengalaman belajar sebagai proses yang menantang sekaligus relevan, sehingga siswa mersakan kepuasan intelektual, bukan sekedar kepuasan sesaat.

Penguatan iklim kelas yang menekankan eksplorasi, refleksi, dan umpan balik yang bermakna terbukti berkorelasi dengan meningkatnya minat serta capaian belajar, terutama bila dibungkus dalam aktivitas proyek yang menuntut perencanaan, kolaborasi, dan presentasi hasil (Setiawati et al., 2024).

Budaya instan ini tumbuh seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi yang memanjakan pengguna dalam segala hal.

Siswa tidak perlu lagi bersusah payah mencari sumber belajar, cukup dengan mengetik beberapa kata kunci, semua informasi tersaji di layar. Meskipun kemudahan ini bermanfaat. Namun, ketika kesulitan muncul, sebagian siswa memilih berhenti atau mencari jalan pintas, bukan menelusuri akar masalah.

Akibatnya, daya juang dalam belajar menurun karena proses dianggap tidak sepenting hasil akhir.

Lebih jauh, budaya instan tidak hanya memengaruhi cara belajar, tetapi juga membentuk cara pandang terhadap keberhasilan. Dalam kehidupan nyata, keberhasilan seharusnya diukur dari kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menerapkan pengetahuan, bukan sekadar menyelesaikan tugas dengan cepat atau memperoleh nilai tinggi. Padahal, dalam pendidikan, proseslah yang mendidik karakter, bukan sekedar hasil yang memuaskan mata.

Peran Guru Sebagai Penenun Kembali Semangat Belajar

Guru memiliki peran strategis sebagai penenun semangat belajar siswa di tengah derasnya arus digital. Dalam hal ini, guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator dan inspirator.

Pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dan model pembelajaran berbasis masalah ( problem based learning) dapat menjadi alternatif efektif.

Melalui metode ini, siswa tidak sekedar menerima informasi, tetapi juga terlibat aktif dalam menemukan, memecahkan, dan merefleksikan pengetahuan. Selain itu, integrasi teknologi harus diarahkan pada pembelajaran yang bermakna (Damayanti, 2024).

Misalnya, penggunaan platform interaktif seperti kuis digital, video edukatif, atau simulasi virtual dapat menjadi jembatan antara dunia instan dengan proses belajar yang reflektif. Guru juga perlu menanamkan nilai-nilai growth mindset.
Keluarga Dan Ekosistem Sekolah: Menyalakan Motivasi Dari Rumah
Minat belajar tidak tumbuh dari ruang hampa. Keterlibatan orang tua dalam menciptakan rutinitas literasi di rumah, memonitori penggunaan gawai, memberi penguatan yang fokus pada usaha sehingga memiliki kontribusi nyata terhadap daya juang dan hasil belajar anak (Salfadilah et al., 2023).

Sekolah dapat menyambungnya lewat program literasi, klub sains atau seni, dan mentoring siswa senior. Peran orang tua sejatinya adalah membentuk lingkungan rumah yang kondusif untuk belajar dan berpikir.

Kebiasaan sederhana seperti membaca buku bersama, berdiskusi ringan mengenai isu aktual, atau memberi apresiasi atas usaha anak, dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan motivasi intrinsik. Ketika anak merasa didukung secara emosional, anak akan memandang belajar bukan sebagai beban, melainkan sebagai kebutuhan diri untuk berkembang.

Selanjutnya, komunikasi yang positif antara orang tua dan pihak sekolah menjadi faktor penting dalam menjaga konsistensi motivasi belajar anak. Ketika nilai-nilai yang ditanamkan di rumah seperti disiplin, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu selaras dengan yang diterapka di sekolah .

Keselarasan ini membentuk ekosistem belajar yang berkelanjutan, di mana semangat belajar tidak hanya tumbuh di sekolah, tetapi juga terus dipupuk di lingkungan keluarga setiap hari.

Pos terkait