Opini: Ketika Penguasa “Memperkosa” Hukum

Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum
Ketua API – Advokat Pengadaan Indonesia
085340100081

SULSELBERITA.COM. Hukum, pada asalnya, adalah taman di mana rakyat meneduh dan keadilan tumbuh dari akar kesetaraan. Tetapi hari ini taman itu telah layu. Daun-daunnya robek, batangnya ditebang oleh tangan kekuasaan yang rakus. Di atas reruntuhan itu, berdiri megah istana penguasa yang menulis hukum seperti menulis sajak untuk dirinya sendiri.

Bacaan Lainnya
Dirgahayu Republik Indonesia

“Negara hukum,” katanya — tetapi yang tegak kini hanyalah negara kekuasaan (rule by law), bukan negara hukum (rule of law). Padahal Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum.” Artinya, hukum harus menundukkan kekuasaan, bukan menjadi budaknya.

Namun kini hukum lebih mirip perempuan suci yang diperkosa dalam kamar gelap kekuasaan — ditindih oleh kepentingan, dibungkam oleh pasal, dijaga oleh aparat yang kehilangan nurani.

Di negeri ini, siapa yang berkuasa, dialah yang benar. Ketika rakyat kecil menebang sebatang pohon untuk hidup, mereka disebut “perusak hutan.” Ketika korporasi menggunduli ribuan hektar hutan untuk tambang dan sawit, mereka disebut “investor strategis nasional.” Ketika petani membela tanah leluhurnya, mereka dicap “provokator.” Namun ketika penguasa merampas tanah rakyat dengan sertifikat bodong, mereka disebut “pembangun peradaban.”

Hukum yang seharusnya berpihak pada keadilan kini menjadi instrumen kekuasaan — the law as an instrument of domination. Sebagaimana dikatakan oleh Michel Foucault, “Power produces knowledge; power and law are entangled.” Di sinilah hukum kehilangan maknanya sebagai penjaga moral publik, berubah menjadi palu besi untuk menundukkan rakyat.

“Ultimum remedium,” kata para ahli, hukum pidana adalah upaya terakhir. Tetapi bagi rakyat miskin, justru itu cambuk pertama. “Due process of law,” katanya, setiap orang berhak atas proses yang adil. Namun di tangan aparat, pasal berubah menjadi jebakan.

Padahal, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Jaminan itu juga ditegaskan dalam Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, bahwa setiap orang “berhak atas pengadilan yang adil dan tidak memihak.”

Namun bagaimana mungkin ada peradilan yang adil bila hukum justru dipakai untuk mengamankan investasi, bukan kemanusiaan?

Dalam hukum administrasi, apa yang kini sering terjadi dalam proyek-proyek strategis nasional — di mana sertifikat HGU dan HGB diterbitkan tanpa dasar hukum — adalah bentuk nyata penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Ombudsman Republik Indonesia dalam sejumlah temuan menyebut praktik seperti itu sebagai “maladministrasi struktural”: hukum dijalankan bukan untuk melayani, tapi untuk mengabdi pada korporasi.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa “Penyelenggara negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kewenangannya, karena setiap tindakan pemerintahan harus berlandaskan asas hukum dan keadilan.”
Namun penguasa seolah lupa, bahwa sewenang-wenang adalah bentuk pengkhianatan terhadap hukum itu sendiri.

Gustav Radbruch, filsuf hukum asal Jerman, mengingatkan: “Hukum yang sangat tidak adil bukanlah hukum sama sekali.” (Extremely unjust law is not law at all.) Pandangan ini kemudian dikenal sebagai Formula Radbruch, yang menjadi dasar moral untuk menolak hukum yang keji, walau sah secara formal. Dalam kerangka materialisme dialektika hukum, hukum adalah refleksi dari kontradiksi sosial; ia hidup dalam benturan antara yang menindas dan yang ditindas. Maka ketika hukum menjauh dari rakyat, rakyatlah yang akan melahirkan hukum baru melalui praksis perlawanan.

Keadilan sejati tidak lahir di meja kekuasaan, tetapi di tanah yang direbut, di sawah yang dijaga, dan di suara rakyat yang tak mau diam.

Hukum internasional juga menegaskan pentingnya kemandirian peradilan.
United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) menyebut: “The judiciary shall decide matters before them impartially, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences.”

Namun di negeri ini, tekanan terhadap hakim, intervensi politik terhadap jaksa, dan pemanfaatan polisi sebagai alat kekuasaan adalah realitas yang diterima seolah wajar. Inilah paradoks negara hukum tanpa moral, hukum tanpa nurani. Filsuf hukum Belanda Paul Scholten pernah menulis, “Setiap hukum membutuhkan keadilan yang hidup dalam hati manusia.” Ketika hati mati, hukum berubah menjadi besi dingin yang melukai.

Kekuasaan yang menindas dengan hukum adalah bentuk kekerasan yang dilegalkan (legalized violence). Ia membunuh bukan dengan senjata, tapi dengan pasal.
Ia merampas bukan dengan tentara, tapi dengan tanda tangan pejabat. Dan ketika rakyat diam, kekerasan itu menjadi sistem; sistem menjadi budaya; budaya menjadi nasib.

Namun sejarah membuktikan: Setiap kali hukum diperkosa penguasa, selalu lahir anak-anak perlawanan — mereka yang menulis, berbicara, dan berjuang untuk mengembalikan marwah hukum. Hukum bisa diperkosa, tapi kebenaran tak bisa dimatikan. Ia tetap hidup di dada para pembela keadilan, di pena para advokat, di suara para petani yang menolak tunduk.

Pada akhirnya, kekuasaan akan runtuh oleh waktu. Namun hukum yang lahir dari nurani, dari rakyat, dari penderitaan yang jujur, akan tetap abadi. Ia akan bangkit dari reruntuhan pasal, menembus kebohongan, dan memulihkan kembali makna sejati: bahwa hukum bukan alat penguasa, melainkan perisai manusia.

Pos terkait