Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum
Ketua API – Advokat Pengadaan Indonesia
085340100081
SULSELBERITA.COM. Di tepi Sungai Kayan, di sebuah kampung bernama Kampung Baru, hukum tengah diuji oleh nurani. Suara rakyat yang dulu hanya bergema di balai desa kini bergulung sampai ke pengadilan. Mereka datang bukan membawa batu atau parang, melainkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap dua raksasa ekonomi: sebuah perusahaan sawit, dan perusahaan kawasan industri.
Warga menuduh keduanya menguasai tanah mereka dengan sertifikat yang diduga bodong—dokumen yang lahir tanpa musyawarah, tanpa dasar, tanpa moral. Di sinilah kisah kemanusiaan dan hukum bersilang jalan: ketika tinta di atas kertas bisa merampas hidup orang kecil yang hanya ingin tetap berpijak di tanah warisan leluhur.
Tanah: Bukan Sekadar Benda, Melainkan Martabat. Bagi warga Kampung Baru, tanah bukan sekadar “aset”. Ia adalah jiwa kolektif, tempat berdiri rumah, tumbuh anak-anak, dan bersemayam harapan. Di atas tanah itu mereka menanam, memelihara, dan berdoa. Maka ketika tanah diambil atas nama sertifikat perusahaan, yang hilang bukan sekadar lahan, tetapi rasa kemanusiaan yang paling dasar.
Hukum tertinggi negeri ini, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, menjamin hak milik pribadi. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya Pasal 36, juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas milik pribadi dan tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Bahkan, Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) melarang segala bentuk perampasan hak milik tanpa dasar hukum yang sah dan adil.
Namun di lapangan, warga Kampung Baru justru mendapati kenyataan sebaliknya: hak atas tanah dihapus, sejarah kepemilikan diabaikan, dan keadilan dikalahkan oleh investasi.
PMH: Ketika Gugatan Jadi Bentuk Perlawanan Kemanusiaan. Gugatan PMH warga Kampung Baru terhadap perusahaan sawit PT BCAP dan perusahaan kawasan industri PT KIPI bukan perkara biasa. Ia bukan sekadar sengketa kepemilikan, melainkan perlawanan rakyat terhadap kuasa yang melupakan batas moral.
Di atas kertas, mereka menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Tetapi pelanggaran yang mereka alami jauh lebih dalam daripada sekadar kerugian ekonomi. Yang mereka lawan adalah pengingkaran terhadap hak-hak asasi manusia, antara lain:
Hak partisipasi masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri (Pasal 28C UUD 1945);
Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan layak huni (Pasal 9 ayat (3) UU HAM);
Hak bebas dari intimidasi, kekerasan, dan ketakutan (Pasal 30 UU HAM).
Ketika perusahaan sawit membentangkan pagar dan aparat menjaga kawasan industri, warga justru dipaksa menepi. Padahal, hukum bukan milik yang kuat, melainkan pelindung bagi yang lemah.
Negara: Penonton atau Pelindung? Dalam setiap konflik agraria, pertanyaan yang sama terus bergema: di mana negara berdiri? Apakah bersama rakyat yang mempertahankan hidupnya, atau di balik proyek yang mengusir mereka atas nama pembangunan dan investasi strategis nasional?
Padahal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 telah menegaskan bahwa tanah, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun di Kampung Baru, kemakmuran itu tampak berbalik arah—menjadi kemewahan bagi korporasi sawit dan kawasan industri yang mengusir warga dari kebunnya sendiri.
Sertifikat yang diterbitkan tanpa dasar hukum dan tanpa partisipasi masyarakat bukanlah dokumen sah, melainkan bukti penindasan yang dilegalkan. Ia boleh tampak benar secara administratif, tetapi batil di mata kemanusiaan.
HAM sebagai Napas dari Keadilan yang Bernurani. Hukum tanpa HAM adalah tubuh tanpa ruh. Ia kaku, dingin, dan mudah dijadikan alat kekuasaan. Karena itu, gugatan warga Kampung Baru sejatinya adalah gugatan kemanusiaan, bukan sekadar gugatan hukum.
Mereka menuntut hak atas tanah sebagai hak hidup, hak atas lingkungan sebagai hak masa depan, dan hak untuk tidak ditindas sebagai hak dasar yang tidak bisa dikurangi oleh alasan apa pun (non-derogable rights). Hal ini sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Artinya, pelanggaran hak atas tanah dan pengusiran paksa warga adalah pelanggaran serius terhadap kewajiban negara dalam menjamin hak hidup yang layak dan martabat manusia.
Ketika Rakyat Menggugat, Nurani Diuji. Kampung Baru bukan sekadar lokasi sengketa. Ia adalah cermin bangsa—tentang bagaimana hukum berhadapan dengan kekuasaan ekonomi, dan bagaimana manusia mempertahankan hak hidupnya.
Sertifikat bisa dibuat, tanah bisa dipagari, tapi kebenaran tidak bisa dikubur. Selama rakyat masih berani menggugat, masih ada harapan bahwa hukum akan kembali bernapas.
Sebab sejatinya, keadilan bukan hanya ada di palu hakim, melainkan di hati mereka yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Dan selama rakyat masih percaya pada kebenaran, hukum belum sepenuhnya mati.





