Penulis: Ampa SamsuddinYunus | Sekretaris PKS Takalar
SULSELBERITA.COM. Takalar - Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan suara bukanlah pertanda perpecahan, melainkan pertanda bahwa nalar publik masih bekerja. Ketika sekelompok pemuda menyuarakan kritik terhadap 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati Takalar, hal itu tak serta-merta mencerminkan kegagalan. Justru sebaliknya, ekspresi semacam itu menandakan bahwa ruang partisipasi masih berdenyut dan harapan publik tetap hidup.
Namun di tengah hiruk-pikuk narasi “gagal", mari kita tempatkan satu hal mendasar, kebenaran tak selalu terletak di keramaian suara, melainkan di ketekunan data dan jejak kerja nyata.
Dalam periode waktu yang relatif singkat, pemerintah daerah Takalar di bawah komando Daeng Manye dan Hengky Yasin telah menjejakkan langkah-langkah konkret di berbagai lini. Bukan hanya dalam bentuk jejaring politik dan diplomasi vertikal ke tingkat pusat, melainkan juga lewat kerja nyata yang menyentuh masyarakat paling bawah. Di bidang sosial dan infrastruktur dasar, telah dilakukan bedah rumah sebanyak 108 unit rumah warga miskin ekstrem. Dalam ranah pendidikan, pemerintah membangun sekolah rakyat permanen untuk membuka akses pendidikan non formal, sekaligus mendistribusikan lebih dari tiga ribu unit bangku modern ke sekolah-sekolah SD dan SMP penerima.
Kepedulian terhadap kelompok rentan ditunjukkan melalui penyaluran beasiswa, santunan anak yatim, dan penguatan rumah tahfiz bagi anak-anak penghafal Al-Qur’an. Tak hanya itu, digitalisasi pelayanan publik pun dijalankan secara aktif. E-KTP mobile, pajak online melalui platform PARENTA, serta pemanfaatan aplikasi koperasi desa menjadi bagian dari wajah baru layanan publik yang lebih efisien dan inklusif. Di sektor kesehatan, hadirnya sistem Anjungan Mandiri dan Rekam Medik Elektronik di RSUD Padjonga Daeng Ngalle menjadi bukti bahwa pelayanan modern bukan hanya milik kota besar dalam mempercepat pelayanan kesehatan. Ruang NICU dan PICU diaktifkan, memberikan harapan lebih bagi pasien bayi dan anak-anak.
Program kebersihan lingkungan berbasis partisipasi masyarakat, Takalar BISA, menjadi inovasi sosial yang tak hanya menyentuh ruang publik, tetapi juga menyadarkan warga akan tanggung jawab kolektif menjaga lingkungan. Sementara itu, bidang pangan dan pertanian digarap melalui gerakan pasar murah, panen raya bersama Presiden, dan penggunaan drone untuk pemupukan sawah. UMKM dan pelaku ekonomi kreatif pun disentuh lewat program digitalisasi transaksi dan desa kreatif.
Dari sinilah kita bisa menyimpulkan, 100 hari ini bukan sekadar angka, melainkan potret awal dari sebuah niat kerja yang nyata.
Namun pertanyaannya yang sering muncul, mengapa sebagian merasa tidak melihat perubahan?
Jawabannya bukan karena tidak ada kerja. Sering kali yang tak terdengar disangka tak ada. Itulah dilema awal dalam setiap kerja pemerintahan yang memulai dari dasar. Saat kerja nyata telah dimulai, tapi belum semua masyarakat bisa merasakannya secara langsung. Bukan karena tak ada hasil, tapi karena hasil itu belum sempat menjelma menjadi gema.
Bagi sebagian orang, jika perubahan belum sampai ke pekarangan rumahnya, maka ia mengira bahwa perubahan belum terjadi sama sekali. Padahal, dalam pembangunan, proses awal sering kali justru paling sunyi. Kerja pemerintah hari ini bukan soal wacana, tapi soal fondasi dan fondasi pembangunan.
Teori pembangunan partisipatif yang diperkenalkan Robert Chambers dan Paulo Freire menjelaskan bahwa keberhasilan program bukan hanya ditentukan oleh kualitas pelaksanaan, tetapi juga sejauh mana masyarakat merasa menjadi bagian dari prosesnya. Bila masyarakat belum melihat pantulan langsung dari kebijakan ke dalam hidup mereka, maka bisa timbul persepsi bahwa tak ada yang berubah meski sejatinya kerja keras tengah berlangsung di banyak sisi.
Dalam kacamata filsafat politik, Plato pernah mengatakan bahwa pemimpin ideal bukanlah mereka yang populer, tetapi mereka yang mampu menatap jauh ke depan. Kepemimpinan bukan soal hasil instan, melainkan soal arah. Maka menilai seratus hari pertama kepemimpinan Takalar seperti menilai seorang petani yang baru menanam benih, belum panen bukan berarti gagal, selama tanah telah diolah, air telah dialirkan, dan benih telah ditanam. Justru di situlah kecerdasan publik diuji, apakah kita menilai dari hasil atau dari kesungguhan dan arah kerja?
Dalam konteks ini, ekspresi dari kelompok muda, tentu memiliki tempat yang sangat penting. Idealisme mereka adalah bahan bakar perubahan. Namun seperti yang dikatakan Karl Popper, kritik yang sehat adalah kritik yang lahir dari nalar dan didasarkan pada verifikasi fakta, bukan dari prasangka dan asumsi. Kritik yang tidak disertai pemahaman atas konteks dan data mudah terjebak menjadi euforia, bukan energi. Pemuda idealnya bukan sekadar penyampai keluhan, tetapi penyumbang pemikiran. Mereka tak hanya berdiri di luar sistem untuk menunjuk kekurangan, tapi juga bisa ikut terlibat menjadi bagian dari pengawalan dan solusi.
Pemerintah Takalar sendiri memilih untuk tidak membalas kritik dengan retorika, melainkan dengan kerja. Kritik tetap dibutuhkan, bahkan sangat penting. Tapi kritik yang membangun adalah yang tumbuh dari ketulusan melihat perbaikan. Dalam demokrasi yang matang, semua pihak, baik pemerintah, mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat sipil memiliki ruang yang sama untuk mengawal pembangunan. Bukan untuk saling menghakimi, melainkan untuk saling mengingatkan dan menguatkan.
Takalar hari ini sedang bertumbuh. Mungkin belum sempurna. Tapi ia sedang berjalan. Dan seratus hari pertama ini bukan akhir cerita, melainkan bab pembuka dari perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran, partisipasi, dan konsistensi. Maka mari kita jaga semangat membangun ini, bukan hanya di jalanan, tetapi juga di ruang kelas, ruang media, meja musyawarah, dan ruang kebijakan.
Karena pada akhirnya, pembangunan tak hanya lahir dari kekuasaan, tapi dari kebersamaan. Dan seratus hari pertama Takalar, jika dibaca dengan jernih, adalah undangan untuk ikut serta dalam kebersamaan itu untuk membangun butta panrannuangta’ tercinta.