Oleh: Ika Rini Puspita, S.Si
(IRT & Alumni UINAM)
SULSELBERITA.COM. Makassar – Berbicara Sulsel salah satu daerah yang terkenal seksi, hampir dikatakan semua ada di sulsel. Sulawesi kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan SDM yang melimpah, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, tambang, dan migas. Maka wajar, orang berlombah-lombah untuk menguasai atau paling tidak mendapat keuntungan yang melimpah ini.
Seperti jalur laut sudah dikavling yang baru-baru ini heboh. Lokasi diduga kavling laut terletak di antara Pantai Indah Bosowa dan belakang Trans Studio Makassar. Berdasarkan pengamatan pada citra satelit, luas diduga kavling laut mencapai 23 hektare. Pemilik SHGB diketahui adalah perusahaan property dan pertambangan. (Majesty.co.id, 2/2/25).
Yang cukup mengagetkan jalur Hutan juga sudah di kavling. Aktivis Lingkungan, Ahmad Yusran menyatakan Sulawesi Selatan (Sulsel) zona merah mafia tanah. Itu diungkapkan menyusul sejumlah temuan laut dan hutan bakau yang dikaveling. Ketua Forum Komunitas Hijau itu menyebut ada perambahan hutan bakau di Kabupaten Maros. Bahkan, sejumlah titik telah disertifikatkan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM). “Asli. Jadi tidak hanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di laut Makassar. Ada juga hutan bakau bersertifkat hak milik di Maros,” kata Yusran kepada fajar.co.id, Senin (3/2/2025).
Sedangkan di darat, polemik lahan Hamrawati dkk di Pettarani yang membuat heboh Makassar akhir-akhir ini. Sejumlah ahli waris Hamad Yusuf mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka meminta keadilan setelah lahan seluas 12.931 meter persegi di Jalan Andi Pangeran Pettarani, yang telah mereka kuasai lebih dari 80 tahun, dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Makassar atas putusan Mahkamah Agung. Adanya keterlibatan mafia tanah dan mafia peradilan dalam kasus ini. Menurutnya, eksekusi lahan yang dilakukan pada (13/2) kemarin, tetap berjalan meski ahli waris masih memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang belum dibatalkan secara resmi oleh pengadilan.
Arif seaga kuasa hukum juga mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum kasus ini, termasuk hilangnya 12 bukti yang diajukan oleh pihaknya di pengadilan serta dugaan penggunaan rincik palsu oleh pemohon eksekusi, Andi Baso Mattutu. Andi sendiri telah divonis 1,6 tahun penjara dalam kasus pemalsuan dokumen terkait lahan sengketa tersebut. Eksekusi lahan ini sempat memicu perlawanan dari pihak ahli waris yang merasa dizalimi. Sebelum pelaksanaan eksekusi, mereka telah mengajukan keberatan kepada berbagai pihak, termasuk Kapolda Sulawesi Selatan, Kapolres Makassar, Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Badan Pertanahan Nasional, serta Presiden dan Wakil Presiden. Namun, upaya itu tidak menghentikan eksekusi. (Viva.co.id, 17/2/25).
Fakta ini menunjukkan bahwa gurita mafia tanah di Sulsel sudah masuk zona merah. Bagaimana tidak, laut, hutan dan darat sudah terkavling-kavling. Bisajadi, semuanya sudah di kavling namun belum ada yang berani membuka faktanya. Kejadian, ini harus segera diseriusi, juga menjadi bukti betapa kapitalisnya Indonesia/Sulsel. Seperti kasus di Pettarani, 12 bukti dihilangkan Andi Baso Mattutu. Andi sendiri telah divonis 1,6 tahun penjara dalam kasus pemalsuan dokumen terkait lahan sengketa tersebut. Tahun ini 2025 menang, luarbiasa. Bagaimana bisa sebelumnya sudah dipenjara karena pemalsuan surat-surat kemudian menang. Apa yang melatar belakangi? Kata netizen mungkin karena uangnya pelicinnya banyak atau hal lain.
Tahun sebelumnya, sebanyak 2,5 juta masyarakat di berbagai daerah, resmi mendapatkan sertifikat tanah elektronik pada 4-12-2023.
Program baru yang diluncurkan pemerintah ini merupakan bagian dari upaya mengatasi konflik agraria. Program ini diharapkan bisa mengurangi segala risiko kehilangan dan kerusakan, memudahkan dalam pengelolaan data, juga untuk menghindari mafia tanah.
Pemerintah sendiri memiliki target menyelesaikan 120 juta sertifikat dari total 126 juta sertifikat pada 2024. Katanya gratis, tapi fakta dilapangan, masih banyak yang harus dibayar uang ini-itu.
Di lapangan, masalah lahan tidak hanya ada pada cara mengurusnya online atau tidak, melainkan lebih dari itu. Beberapa konflik lahan yang ada justru melibatkan pihak ketiga, seperti perusahaan, pengembang, atau pengelola.
Kasus di Pettarani Makassar dan Rempang pun membuktikan, masyarakat yang sudah berabad-abad tinggal di sana justru tidak diakui sebagai pemilik sah tanah dengan alasan tidak memiliki sertifikat. Sedangkan kalau pemilu, suara mereka dikejar-kejar. Namun, ketika ada investasi yang dinilai menjanjikan, mereka dipaksa meninggalkan ruang hidup mereka. Ujungnya, tetap rakyat yang jadi korban.
Mengutip laman Tempo (18/07/2022), modus pertama, para pelaku bekerja sama dengan pegawai BPN mencari tanah yang sudah bersertifikat. Setelah itu, mereka menerbitkan akta jual beli (AJB) atau akta peralihan palsu atas tanah tersebut. Kedua, para mafia tanah bekerja sama dengan oknum pegawai pemerintah daerah mencari tanah-tanah yang sertifikatnya belum diurus.
Setelah menemukan target, para pelaku bekerja sama membuat dokumen kepemilikan tanah palsu sebagai pembanding atas sertifikat yang dimiliki korban.
Lalu dibuat girik palsu, akta palsu, akta peralihan, hingga terjadi penguasaan lahan secara tidak sah.Ketiga, memanfaatkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Para pelaku mengubah identitas kepemilikan dan luas bidang tanah dari sertifikat tersebut. Keempat, mengakses secara ilegal data kepemilikan tanah yang tercatat di sistem Komputerisasi Kerja Pertanahan (KKP) Kementerian ATR/BPN.
Masalah agraria yang tidak terselesaikan sampai hampir semua lini sudah di kavling menunjukkan bahwa kapitalisme tidak mampu mengurusi kebutuhan rakyat. Kapitalisme merupakan biang keladi dari masalah ini. Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan individu sangat dijamin. Asalkan menguntungkan, semua akan dilakukan. Termasuk UU, dibuat untuk memuluskan kepentingan individu pengusaha.
Pengalihfungsian lahan, baik lahan subur, lahan berpenghuni, dan lainnya, dapat dialih fungsi demi keuntungan ekonomi. Semuanya boleh di kavling asalkan ada materi, tentu ini sangat merugikan masyarakat proletar secara keseluruhan yang justru menguntungkan pengusaha-penguasa.
Akhirnya, rakyat yang kena getahnya. Mereka harus meratapi nasib dari berbagai akibat pengalihfungsian lahan. Inilah jadinya jika negara hanya berperan sebagai regulator yang memuluskan kepentingan para oligarki. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki pengaturan yang khas tentang pertanahan. Islam akan mengakui hak milik tanah ketika diperoleh dari jual beli, waris, hibah, hasil menghidupkan tanah mati, pemberian negara kepada rakyat, dan membuat batas pada tanah mati. Dengan alasan tersebut, negara akan melindungi hak rakyat.
Ketika tanah tersebut merupakan tanah yang dimanfaatkan umum, seperti hutan, padang gembala, atau mengandung SDA yang melimpah, negaralah yang akan mengelolanya. Negara tidak akan membiarkan kepemilikan tanah tersebut jatuh ke tangan individu atau swasta, apalagi oligarki.
Menurut hukum Islam, tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yakni melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). Dengan begini, kekayaan SDA dan SDM bisa dikelolah dengan baik, bahkan jika tidak punya modal diberikan modal dari baitul mal. Islam sebagai rahmatan lil alamin bisa kita rasakan jika mengambil hukum syariat dalam sendi-sendi kehidupan. Wallahu a’lam.