Lsm Gempa Indonesia Kritisi Penegakan Hukum di Polsek Biringbulu

160

SULSELBERITA.COM. Gowa – Ketua DPP Lsm Gempa Indonesia angkat bicara terkait kedatangan Perempuan Lenteng di Kantor memohon perlindungan hukum atas penangkapan dan penahanan suaminya lelaki Saing bin Badong warga Rajaya Dusun Rajaya Desa Taring Kecamatan Biringbulu Kabupaten Gowa kemarin jam 10,30 wita hari Rabu tanggal 1 Juni 2022 dengan dugaan membuat perasaan tidak enak melanggar pasal 335 ayat (1) yàng dilaporkan oleh lelaki Haris ketua RK Kampung Rajaya desa Taring, menurut ketua DPP Lsm Gempa Indonesia pasal tersebut adalah pasal yang tidak memiliki kekuatan hukum lagi.

Menurut Amiruddin, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan frasa aturan yang terkenal sebagai delik atau pasal “perbuatan tidak menyenangkan” inkonstitusional. Frasa “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam ketentuan Pasal 335 ayat (1) butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto UU No.73 Tahun 1958 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan dengan Nomor 1/PUU-XI/2013 ini dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva dengan didampingi hakim konstitusi lainnya pada Kamis (16/1/2013 di Ruang Sidang Pleno MK,berarti pasal tersebut tidak berlaku lagi sejak tahun 2014.

Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP yang diujikan menyatakan, “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”

“Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ucap Hamdan membacakan putusan atas permohonan Oei Alimin Sukamto Wijaya tersebut.

Selain Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, MK juga menyatakan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP menjadi menyatakan, “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, menurut Mahkamah konstitusi sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur maka ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata. Selain itu, hal tidak menyenangkan tersebut secara umum merupakan dampak dari semua tindak pidana. “Setiap tindak pidana jelas tidak menyenangkan dan tidak ada dampak tindak pidana yang menyenangkan. Dengan demikian, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dapat membedakan secara tegas (distinctive) dari tindak pidana yang lain,” jelas Fadlil.

Fadlil juga menjelaskan sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian tersebut, dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan. Meskipun harus diakui bahwa pada akhirnya hal demikian harus dibuktikan di pengadilan, akan tetapi apabila laporan tersebut terbukti, maka hal tersebut menjadi wajar dan tidak ada kesewenang-wenangan. Sebaliknya, apabila tidak terbukti maka pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan penuntut umum dan terlebih lagi apabila yang bersangkutan ditahan.

“Dengan demikian berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan sebagai hak asasinya, padahal hukum pidana dan hukum acara pidana justru untuk melindungi hak asasi dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Selain itu, yang bersangkutan secara moral dan sosial telah dirugikan karena telah mengalami stigmatisasi sebagai orang yang tercela sebagai akibat laporan tersebut,” paparnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah frasa “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena memberikan peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum dalam implementasinya terutama bagi pihak yang dilaporkan. Hal ini justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum. “Oleh karena itu, permohonan Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP sepanjang frasa, ‘Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ beralasan menurut hukum,” urainya.

Selain itu, Amiruddin selaku kontol sosial menambahkan dengan dinyatakannya permohonan pengujian konstitusionalitas frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP beralasan menurut hukum, maka pengujian Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHP, ketentuan tersebut tetap diperlukan. Hal ini karena tidak seluruh norma yang terdapat dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah pengujian konstitusionalitas Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP sepanjang frasa, “Pasal 335 ayat (1)” tidak beralasan menurut hukum. “Adapun mengenai Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP yang merujuk kepada Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP cukuplah dalam implementasinya merujuk materi norma setelah putusan Mahkamah yang menyatakan sebagian normanya tidak mengikat secara hukum,”

Ditambahkan oleh Amiruddin bahwa penyidik polsek Biringbulu melakukan proses penyelidikan terhadap lelaki Saing tidak pernah melayangkan undangan dan tidak pernah melayangkan panggilan sebagai tersangka,kemarin hari Rabu tanggal 1 Juli 2022 penyidik melakukan penangkapan dan tidak memperlihatkan surat perintah penangkapan dan tidak memperlihatkan surat penangkapan kepada keluarga lelaki Saing,sekarang tersangka lelaki Saing bin Badong ditahan dipolsek Bontomarannu Kecamatan Bontomarannu Gowa dan sampai saat ini keluarga belum menerima surat panggilan surat penangkapan dan surat perintah penahanan.

Ditambahkan lagi bahwa kasus ini lsm Gempa Indonesia akan melaporkan tindakan polisi penyidik Biringbulu yang diduga melanggar hak asasi dan kode etik secepatnya.