SULSELBERITA.COM, Kendari – Rekan-rekan seluruh jaringan masyarakat sipil antikorupsi dimanapun. Situasi pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK tengah berada di ujung tanduk. Kita semua tentu sudah sangat mahfum bagaimana kebijakan politik revisi UU KPK, seleksi pimpinan KPK dan terakhir kontroversi kebijakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK telah mengancam kerja-kerja masyarakat sipil antikorupsi dan menghancurkan satu-satunya agenda reformasi yang masih tersisa. Diamnya Presiden RI dalam kisruh TWK KPK dapat diartikan sebagai persetujuan tidak langsung atas pemecatan 56 pegawai KPK.
Berikut ini kami sampaikan beberapa poin penting yang dapat kita gunakan dalam menuntut lebih keras kepada Pemerintah dan Presiden untuk memberikan solidaritas terhadap 56 pegawai KPK dan sekaratnya upaya pemberantasan korupsi. Setidaknya terdapat 21 poin mengapa kita sebagai masyarakat sipil antikorupsi harus mendesakkan tuntutan kepada Pemerintah/Presiden untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi sebelum jatuh tanggal 30 September 2021.

(1) Putusan MA, MK, KOMNAS HAM dan ORI atas TWK KPK tidak ada yang bertentangan.
Sebaliknya, telah ditemukan berbagai permasalahan, diantaranya, maladministrasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan dua lembaga kekuasaan kehakiman sudah menegaskan bahwa alih status kepegawaian KPK tidak dibenarkan jika melanggar hak-hak kepegawaian. Bahkan, secara langsung, putusan MA menyebutkan bahwa tindak lanjut asesmen pegawai KPK diserahkan kepada pemerintah.
(2) Konsisten akan pernyataan pada pertengahan Mei lalu.
Pertengahan Mei lalu, Presiden Joko Widodo sempat mengeluarkan pernyataan bahwa TWK KPK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai.Bahkan saat itu Presiden turut mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar hukum.
(3) Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam birokrasi.
Pasal 25 ayat (1) UU ASN dan Pasal 3 PP 17/2020 secara tegas menyebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang mengangkat PNS. Maka dari itu, dengan melandaskan temuan ORI dan Komnas HAM, Presiden dapat mengambil alih kewenangan Sekjen KPK untuk melakukan pengangkatan terhadap 56 pegawai karena terbukti maladministrasi dan melanggar HAM.
(4) Presiden selaku pihak eksekutif merupakan atasan KPK berdasarkan putusan MK dan perubahan UU 30/2002.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang dituangkan dalam UU 19/2019 telah meletakkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif. Maka dari itu, segala persoalan yang berkaitan dengan ranah administrasi mewajibkan Presiden untuk bertindak. Dalam hal ini, polemik TWK berada dalam ranah administrasi kepegawaian. Jadi, tidak salah jika kemudian masyarakat mendesak agar Presiden segera mengeluarkan sikap untuk menyelesaikan permasalahan di tubuh KPK.
(5) Presiden sebagai Kepala Pemerintahan bertanggung jawab atas kondisi pemberantasan korupsi yang kian mengkhawatirkan.
Akhir Januari lalu Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Faktanya, peringkat maupun skor Indonesia anjlok. Untuk peringkat, turun dari 85 menjadi 102. Sedangkan skor, merosot tajam tiga poin menjadi 37. Maka dari itu, dengan kondisi KPK hari ini, jika tidak ada tindakan konkret dari Presiden, bukan tidak mungkin IPK Indonesia akan semakin suram pada tahun mendatang.
(6) Rekomendasi putusan MA terkait uji materi PerKom 1/2021.
Putusan MA nomor 26 P/HUM/2021, tepatnya poin dua pertimbangan hakim secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah. Maka dari itu, tindakan Pimpinan KPK yang memutuskan pemberhentian pegawai pada akhir September nanti tidak berdasar. Sebab, keputusan itu semestinya berada pada ranah pemerintah. Jadi, dalam hal ini, Presiden menjadi pihak yang paling tepat untuk menyikapi polemik TWK KPK.
(7) Kewajiban untuk menunaikan Janji Politik Nawacita 2014.
Saat kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 lalu, Joko Widodo menuangkan ide dan gagasannya dalam dokumen Nawacita. Jelas sekali disebutkan pada poin 4 Nawacita bahwa Joko Widodo berjanji akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Maka dari itu, jika Presiden tidak bersikap untuk mengatasi gelombang pelemahan KPK, maka Ia telah mengingkari janjinya sendiri.
(8) Menjalankan rekomendasi Komnas HAM.
Pada tanggal 16 Agustus 2021, Komnas HAM telah memaparkan hasil pemeriksaan terhadap proses asesmen TWK KPK. Dalam temuannya, Komnas HAM mengonfirmasi adanya pelanggaran HAM saat KPK menyelenggarakan proses alih status kepegawaian. Dua diantaranya, pertanyaan bernuansa merendahkan martabat dan praktik stigmatisasi yang dialami oleh pegawai KPK.
(9) Tindak lanjut putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.
Sebagaimana diketahui, putusan MK terkait revisi UU KPK sudah menegaskan bahwa proses pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh merugikan hak-hak pegawai. Dengan diberhentikannya 56 pegawai, semakin jelas bahwa langkah Pimpinan KPK telah melenceng dan mengabaikan putusan MK. Untuk itu, Presiden harus mengoreksi kebijakan Pimpinan KPK tersebut dengan melantik 56 pegawai menjadi ASN.
(10) Pembangkangan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK.
Tepat satu pekan setelah Presiden bersikap, Pimpinan KPK memutuskan untuk memberhentikan 75 pegawai pada 25 Mei 2021 yang lalu. Sikap ini jelas merupakan pembangkangan Pimpinan KPK terhadap instruksi atau arahan Presiden tentang kelanjutan TWK KPK. Jika Presiden tidak segera bersikap, maka marwah Presiden telah runtuh karena instruksinya diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK.
(11) Menghentikan kontroversi Pimpinan KPK.
Presiden pasti memahami bahwa KPK kini berada pada ambang batas kehancuran. Terutama akibat tindakan Pimpinan KPK yang selalu menimbulkan kontroversi dan minim akan prestasi. Misalnya, kualitas penindakan yang buruk, pelanggaran etik, dan terakhir kontroversi penyelenggaraan TWK KPK. Sebagai pihak yang memilih Pimpinan KPK, Presiden punya tanggungjawab untuk mencegah praktik kesewenang-wenangan mereka.
(12) Melaksanakan komitmen politik tahun 2019.
Saat melaksanakan kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo dan Maaruf Amin berulang kali menyebutkan komitmennya untuk memberantas korupsi. Akan tetapi, komitmen itu tak pernah direalisasikan secara baik. Maka dari itu, untuk melaksanakan komitmen politik tersebut, Presiden harus mengeluarkan sikap atas polemik pemecatan 56 pegawai KPK.
(13) Menaati rekomendasi Ombdusman RI.
Pada pekan lalu Ombudsman RI (ORI) sudah menyerahkan rekomendasi kepada Presiden terkait dengan TWK KPK. ORI menegaskan adanya maladministrasi dalam proses penyelenggaraan TWK di KPK. Atas dasar itu, rekomendasi ORI bermuara pada Presiden dan wajib dilaksanakan. Hal itu tertuang secara jelas dalam Pasal 38 ayat (1) UU ORI yang menyebutkan Terlapor (Pimpinan KPK) dan atasan Terlapor (Presiden) wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.
(14) Melanjutkan tradisi dari Presiden sebelumnya atas polemik KPK.
Sebagaimana diketahui, polemik KPK bukan kali pertama terjadi. Jauh sebelum era ini memimpin, telah terjadi hal serupa. Namun, kala itu, Presiden turun tangan langsung untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Misalnya, kriminalisasi Pimpinan KPK (Chandra Hamzah dan Bibid Samad), tarik menarik pengusutan korupsi simulator SIM, dan kriminalisasi Novel Baswedan. Sehingga, berangkat atas fakta tersebut, Presiden Joko Widodo mesti mengambil tanggungjawab untuk menuntaskan permasalahan TWK KPK.
(15) Kewajiban Presiden menjalankan amanat Konstitusi.
Konstitusi telah meletakkan kewajiban dari pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan logika yang sama, jika pemberantasan korupsi dikesampingkan oleh pemerintah, maka kewajiban pemerintah itu tidak akan pernah terealisasi. Saat ini, KPK sedang digempur dengan berbagai agenda pelemahan, satu diantaranya pemecatan 56 pegawai. Untuk itu, sebagaimana sumpah jabatannya, Presiden harus melaksanakan amanat konstitusi tersebut.
(16) Presiden harus memenuhi hak asasi manusia dari setiap warga negara.
Pasal 28 huruf i ayat (4) UUD 1945 secara jelas menyebutkan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Atas dasar hal tersebut, lalu dikaitkan dengan kondisi pegawai KPK saat ini, mereka telah dilecehkan martabat dan dirampas hak asasi manusianya melalui TWK. Maka dari itu, Presiden punya kewajiban untuk melindungi mereka dari pemberhentian sepihak oleh Pimpinan KPK.
(17) Menghindari Presiden dari unsur perbuatan tercela.
Pasal 7 A UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden harus mengindari perbuatan tercela selama memimpin. Berangkat atas peraturan itu, maka setiap kewajiban yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan harus dijalani oleh Presiden, salah satunya adalah menjalani rekomendasi Ombudsman dan KOMNAS HAM untuk melantik 56 pegawai KPK menjadi ASN.
(18) Presiden wajib menjalankan amanat reformasi.
KPK dimandatkan sebagai lembaga yang bisa menjalankan amanat utama reformasi, yaitu memastikan penyelenggaraan negara bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan adanya pelemahan melalui pemecatan 56 pegawai KPK, maka amanat reformasi itu akan semakin sulit untuk dijalankan. Maka dari itu, Presiden harus konsisten untuk berpegang teguh pada amanat reformasi.
(19) Presiden harus mendengarkan suara masyarakat dan berbagai elemen organisasi.
Sejak permasalahan TWK ini mencuat ke tengah masyarakat, setidaknya sudah ada sejumlah elemen organisasi yang menyatakan menolak pemecatan 56 pegawai KPK. Misalnya, puluhan guru besar antikorupsi, mahasiswa, organisasi keagamaan, dan jaringan masyarakat sipil. Selain itu, sudah banyak petisi dari masyarakat melalui kanal change.org yang juga menyuarakan hal sama. Satu diantaranya telah ditandatangani sejumlah 70.456 orang. Berangkat atas fakta itu, Presiden harus mendengarkan suara masyarakat untuk segera mengambil alih kekisruhan di tubuh KPK karena adanya TWK.
(20) Presiden harus memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan baik di KPK.
Melihat rekam jejak 56 pegawai KPK yang diberhentikan, sebagian besar diantaranya bekerja di ranah penindakan. Penyelidik dan Penyidik KPK tersebut diketahui sedang menangani perkara-perkara besar, diantaranya: suap pengadaan bantuan sosial Covid-19 dan suap ekspor benih lobster. Besar kemungkinan perkara besar itu akan terhambat karena adanya pemberhentian sejumlah Penyelidik dan Penyidik KPK. Atas dasar itu, untuk memastikan penegakan hukum, terlebih perkara yang menyentuh hajat hidup masyarakat, dapat berjalan lancar, Presiden harus mengambil sikap agar pemecatan pegawai KPK dihentikan.
(21) Presiden harus mengakhiri kekisruhan antara KPK dan lembaga negara lain.
Terlihat jelas oleh masyarakat bahwa KPK enggan untuk menindaklanjuti temuan Ombudsman dan Komnas HAM terkait penyelenggaraan TWK KPK. Hal itu dibuktikan dengan kebijakan Pimpinan KPK yang mempercepat pemberhentian 56 pegawainya. Padahal, di sisi lain, Ombudsman dan Komnas HAM telah mengonfirmasi adanya praktik maladministrasi dan pelanggaraan HAM saat menggelar TWK KPK. Ketidakpatuhan lembaga penegak hukum terhadap koreksi dari lembaga lain mesti dievaluasi oleh Presiden. Hal-hal semacam ini tidak bisa dibiarkan. Untuk itu, Presiden harus mengoreksi keputusan Pimpinan KPK yang sampai saat ini mendiamkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM.
Dari semua alasan diatas, apa yang bisa kita lakukan hingga 30 September 2021? Solidaritas dari kita sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil, gerakan antikorupsi dan gerakan demokrasi bisa dalam bentuk apapun. Kita bisa membuat konferensi pers, penyebaran rilis, aksi teatrikal di masing-masing daerah, membuka kantor KPK darurat, mengirimkan surat kepada Presiden (atas nama lembaga sendiri ataupun koalisi), dan membuat kampanye massif di kanal media sosial kita masing-masing serta upaya lainnya.
Kalibata, 28 September 2021
Salam Solidaritas Antikorupsi
( red/HNR )