SULSELBERITA.COM, Jakarta - UU Cipta Kerja yang baru saja di sahkan menimbulkan beragam polemik. Maraknya penolakan dari berbagai kalangan menandakan UU ini tidak berpihak pada rakyat. Pekerja menjadi mayoritas penolak UU ini, namun mereka tidak sendiri karena banyak didukung Akademisi, Tokoh Agama, Aktivis Bahkan Politisi.
Bersuara membela kepentingan rakyat, Presiden DPP LIRA Ollies Datau menyatakan keprihatinanya. "Ini adalah bentuk kemunduran demokrasi, terlihat dari bagaimana mayoritas DPR tidak menimbang suara orang - orang yang diwakilinya. Dari 9 Fraksi hanya 2 Faksi yang menolak, Demokrat dan PKS." Tegasnya.
Ollies tidak habis pikir bagaimana bisa sebuah undang - undang yang memuat banyak pasal penting , dibuat dengan kecepatan tinggi di tengah pandemi, dan di sahkan 3 hari lebih awal. "Seakan kita dihadapkan dengan urgensi besar dalam UU ini , padahal tidak sepenting itu. Perut rakyat lebih penting , UU ini malah membuat rakyat kita para pekerja kehilangan banyak hak - haknya, yang bermuara pada poteni turunya kesejahteraan hidup mereka."
Nenek 4 Cucu yang tetap aktif membela suara rakyat ini mengkritisi, "Penghapusan UMK, akan membuat penggeneralisasian Upah satu Provinsi dengan UMP, padahal satu daerah dengan daerah lainya berbeda kebutuhan biaya hidup. Selanjutnya poin di Pasal 61 berisi durasi kontrak pekerja tergantung dari pengusaha, hal ini bisa membuat pengusaha sesuka hati berpotensi membuat karyawan bekerja kontrak selamanya dan dipecat kapanpun. sadis." Geramnya.
Menguatkan pandangan diatas, Wakil Presiden LIRA Bidang Polhukam Andi Syafrani menegaskan "aspek psikologis yg muncul dr UU ini tdk sekadar materinya, tapi momennya yg diproses dlm kondisi pembatasan pandemi. Demi UU ini, anggota DPR rela lembur saat byk org dilarang atau dibatasi kerja."
Advokat ini mempertanyakan, "Ini paradoks yg dipertontonkan. Ini aspek moral yg menyakitkan. Kalau benar UU ini akan jadi obat masalah ekonomi krn pandemi, apakah UU ini jg jd obat pandemi itu sendiri? Kalau TDK, terus apa relevansinya dikebut jika pandemi ini sendiri blm bs teratasi?" Kritisnya.
Andi menyampaikan Dgn byknya materi pasal ini, sgt mgkn ditemukan ketidaksinkronan dgn materi dr UU lain atau UU ini sendiri. Lebih lanjut ia mengingatkan, "Jgn sampai reaksi kelompok masyarakat thd UU ini justru jadi masalah baru terkait pandemi jika diekspresikan dgn demo atau aksi massa. Manfaat UU blm terasa, tapi efek reaksi negatifnya justru tambah persoalan negara." Pungkasnya.
Sekjend DPP LIRA Budi Siswantu menekankan banyaknya kecacatan dalam UU ini . "Pasal 79 ayat 2 menyatakan durasi kerja 6 hari dengan libur 1 hari seminggu, sangat ambigu dan bisa dimanfaatkan pengusaha nakal memeras tenaga pekerja. Selanjutnya ayat 5 menghapuskan cuti panjang, dimana cuti tidak diatur dalam peraturan jelas tapi perjanjian. Posisi karyawan lemah dan bisa dimanfaatkan pemilik modal." Sanggahnya.
"Kemudian UU ini membuat tenaga kerja asing dipermudah bekerja di Indonesia, Pemerintah harusnya melindungi pekerja kita, agar pos nafkah untuk warga negara tidak di habisi oleh serbuan tenaga kerja Asing." Tandasnya. Pria yang juga Ketua Umum Forum Bersama Jakarta menyatakan UU ini membuat rakyat kita terjerat outsourcing seumur hidup dan banyak lagi kejanggalan didalamnya.
Terakhir dalam pernyataan sikapnya DPP LIRA menyatakan, meminta Pemerintah untuk merevisi kembali UU tersebut, menghapuskan pasal - pasal tidak pro rakyat yang ada didalamnya, dan menuntut hak - hak pekerja yang terhapuskan dalam UU tersebut dikembalikan. "Pemerintah Harus Mendengarkan, Mengkaji dan Merealisasikan Perubahan atau rakyat akan melawan." Tutup Budi.
|| HNR_Andri