Keadilan Jadi Barang Sukar

406

SULSELBERITA.COM – “Keadilan jadi barang sukar, ketika hukum hanya tegak pada yang bayar, sebab perdamaian tidak bisa dipelihara dengan paksa. Itu hanya bisa dicapai dengan pengertian.”

Pasal 359 Hukum Pidana, kelalaian biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan, bahwa “karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian disebut dengan culpa, artinya “kesalahan pada umumnya”, dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.

Advertisement

Intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah.

Iihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.

Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi tolak ukur bagi pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-hatian tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat untuk penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-hatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa lata (kelalaian yang kentara/besar).

Menurut para penulis Belanda, yang dimaksudkan dengan culpa dalam pasal-pasal KUHP adalah kesalahan yang agak berat. Istilah yang mereka pergunakan adalah grove schuld (kesalahan besar). Meskipun ukuran grove schuld ini belum tegas seperti kesengajaan, namun dengan istilah grove schuld ini sudah ada sekedar ancar-ancar bahwa tidak masuk culpa apabila seorang pelaku tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas dari hukuman.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa untuk culpa ini harus diambil sebagai ukuran bagaimana kebanyakan orang dalam masyarakat bertindak dalam keadaan yang in concreto terjadi. Jadi, tidaklah dipergunakan sebagai ukuran seorang yang selalu sangat berhati-hati, dan juga tidak seorang yang selalu serampangan dalam tindak tanduknya.

Akhirnya kembali kepada peran seorang hakim juga tidak boleh mempergunakan sifatnya sendiri sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Akan tetapi, praktis tentunya ada peranan penting yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Hal ini tidak dapat dielakkan kemungkinan bahwa hakim juga berperan serta dalam menentukan hal tersebut.
Semoga bermanfaat,
Salam sehat,
🇲🇨⚖️🙏

Penulis : Abu Yajid Al Hamidi
(Fakultas Hukum UNISMA)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*