SULSELBERITA.COM – Selama beberapa bulan terakhir dunia di gemparkan dengan wabah pandemik COVID-19 (Corona virus disease 2019) adalah penyakit yang disebabkan oleh jenis Corona virus baru yaitu Sars-CoV-2, yang dilaporkan pertama kali di Wuhan Tiongkok pada tanggal 31 Desember 2019. Dapat kita lihat di berbagai media-media, baik dari media Televisi, radio maupun berita-berita harian baik skala nasional maupun internasional, tidak sedikit juga korban yang berjatuhan akibat pandemik ini, entahlah itu sebuah karangan ataupun memang korban nyata dari covid itu sendiri, mungkin.
Berkat dampak dari wabah pandemik inilah sehingga organisasi kesehatan dunia atau Word Health Organization (WHO) memberikan intruksi kepada seluruh negara di dunia untuk menjaga kesehatan dan kebersihan seperti memakai masker menjaga jarak ketika berada di luar rumah atau biasa kita dengar dengan kata Social Distancing. Dan di keluarkanya PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2020. TENTANG, PEDOMAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19), hal ini di lakukan oleh WHO dan Menteri Kesehatan sebagai bentuk pemutusan penyebaran mata rantai Covid 19. Setalah di keluarkanya anjuran ini pemerintah setempat di setiap daerahpun langsung menerima dan menerapkan metode tersebut, dan saya rasa itu sudah tepat jika memang itu adalah upaya pemutusan penyebaran covid 19 ini.
Akan tetapi, justru dengan di berlakukan PSBB inilah sehingga mengakibatkan rakyat yang bekerja di pabrik-pabrik mendapatkan Pemutusan Hak Kerja (PHK), pekerja freelance (Self-Employed) yang menjerit dikarenakan tidak dapat mendapatkan rezekinya akibat di rumahkan selama beberapa waktu, juga petani-petani yang menurun hasil panenya, dan masih banyak lagi masyarakat dari berbagai golongan yang terkena dampak dari segi ekonomi, baik ekonomi menengah keatas maupun menengah kebawah.
Hasil dari survei yang saya lakukan, di berbagai kalangan masyarakat mengenai dampak Covid 19 ini, dari berbagai sample jika di persentasekan dari angka 100%, 80% masyarakat menganjurkan pemerintah seharusnya lebih fokus menangani masalah perekonomian masyarakat dengan berbagai alasan mereka.
Dampak ekonomi Covid 19 ini jika kita tarik kedalam sektor pendidikan mungkin akan menarik jika kita bahas, saya ambil contoh di salah satu kampus islam yang ada di Makassar dalam hal ini kampus UIN Alauddin Makassar, meskipun tidak bisa di pungkiri bahwa kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan kampus Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang lain juga merasakan keresahan yang sama.
Sebelum membahas jauh tentang dampak dari Covid 19 ini di sektor peemdisikan mungkin kita perlu merefresh pikiran kita tentang cita-cita bangsa yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasan Tahun 1945 pada alinea keempat :
1.) Melindungi segenap bangsa Indonesia.
2.) Memajukan kesejahteraan umum.
3.) Mencerdaskan kehidupan Bangsa.
4.) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
semoga pemerintah masih mengingat cita-cita bangsa kita ini.
Seperti yang kita ketahui, kegiatan perkuliahan dan urusan administrasi itu di lakukan secara online (daring) atau di kerjakan segala aktivitas di rumah. Dengan di keluarkanya aturan seperti ini otomatis seluruh mahasiswa di wajibkan memiliki alat komunikasi yang dapat terhubung dengan dosen yang bersangkutan, karna jika tidak mahasiswa akan ketinggalan mata kuliah, nilai Error dan yang pastinya Uang Kuliah Tinggal (UKT) akan terbuang sia-sia karna tidak menikmati segala fasilitas kampus yang sudah di sediakan, dengan bahasa lainya mahasiswa di bebani pemikiran tambahan.
Sedikit saya jelaskan, mengenai sependek pengetahuan saya tentang Uang Kuliah Tunggal atau UKT adalah biaya kuliah yang ditanggung setiap mahasiswa setiap satu semester. Fungsi dari UKT adalah memberikan keringanan bagi mahasiswa yang kurang mampu melalui sistem subsidi silang pemerintah yang besarannya didasarkan pada kondisi ekonomi dan sosial keluarga mahasiswa. Dengan kata lain, UKT adalah sistem pembayaran yang ditujukan untuk memberikan pemerataan biaya kuliah sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing orang tua atau wali mahasiswa.
Pada sistem UKT, semua biaya kuliah berupa uang gedung, SPP, dana praktikum, dan biaya penunjang perkuliahan lainnya telah dilebur menjadi satu dan dibagi rata dalam delapan semester. Jika mahasiswa telah membayarkan UKT di satu semester, mereka tidak perlu dikenakan biaya tambahan lainnya. Sehingga, mereka hanya membayar biaya perkuliahan di setiap awal semester. Akan tetapi di tengah pandemik ini dengan perekonomian otang tua atau wali mahasiswa yang menurun drastis, apakah masih bisa membayar UKT secara penuh?
Sedangkan pada PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018. TENTANG, STANDAR SATUAN BIAYA OPERASIONAL PENDIDIKAN TINGGI PADA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN NEGERI, juga membahas secara spesifik di (BAB III/ Pasal 8/ Poin 2) dengan bunyi “UKT di tetapkan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”.
Dari beberapa hari yang lalu, lembaga internal kampus UIN Alauddin Makassar sudah melakukan berbagai cara demi menurunkan atau menggratiskan UKT semester depan, mulai dari jalan mediasi, aksi bisu, sampai aksi demonstrasi, namun menurut informasi pihak kampus belum memberikan titik terang terkait tuntutan teman-teman lembaga kemahasiswaan internal kampus UIN Alauddin Makassar ini. Bukan tanpa alasan para mahaaiswa melakukan aksi-aksi tersebut, bisa kita analisis bersama dampak Covid 19 dari segi ekonomi bagi orang tua mahasiswa itu menyerang dari berbagai kelas, tidak memandang bagi mereka yang mampu maupun yang kurang mampu. Nah, sekarang kita bahasakan seperti ini saja, jika mahasiswa tetap di tuntut untuk membayar UKT semester depan sedangkan perkuliahan tetap di lakukan secara daring, lagi-lagi kita berpikiran tentang pengeluaran tambahan.
Jika di lihat dari sisi kerugian yang di alami oleh mahasiswa, kerugian pertama, mahasiswa di wajibkan mengikuti seluruh kegiatan perkuliahan secara daring dengan membeli data paket kuota sendiri (tambahan dana lagi) karena tidak adanya subsidi kuota dari pihak kampus. Kerugian kedua, mahasiswa tetap harus membayar UKT semester depan karna pihak kampus belum mengambil sikap terkait permasalahan UKT dengan perkuliahan daring tanpa menikmati segala fasilitas kampus. dan masih banyak lagi kerugian-kerugian yang tidak bisa saya paparkan secara keseluruhan.
Sudah seharusnya pihak kampus sadar akan situasi ini dan memberikan keringanan terhadap mahasiswa dalam melakukan segala aktifitas perkuliahan (daring). Karna saya yakin dari puluhan ribu mahasiswa di UIN Alauddin Makassar itu besepakat jika penggratisan UKT itu seharusnya di realisasikan oleh aparat kampus, hanya saja mungkin beberapa dari mereka masih bingung ingin memyampaikan keresahanya lewat apa. Jadi seperti itu kira-kira.
Penulis : Muh. Rizal (Mahasiswa Fakultas Syariah & Hukum UIN Alauddin Makassar)