LAWANISASIKAN SISA HIDUP

332

SULSELBERITA.COM – Rinai bertebaran di bawah kaki langit. Suhunya menukik iba dan kecewa yang memahit hingga mendulang perih tanpa batas. Disepertiga malam, suara afik dengkuran para penguasa memecah keheningan dan memporak-porakkan mimpi indah sang rakyat lalu merasuk kian menjadi mimpi buruk.

Rakyat dengan label jelata hanya bisa menerima bahwa pintu terbaik segala pintu ialah Sang Maha Agung. Senjata utamanya ialah doa yang diyakini sepenuh hati tanpa keraguan sedikitpun.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

Advertisement

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ .
Dan Rabbmu berfirman:“ Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.
[Al-Mu’min/Ghafir/40: 60].

Ada sekeping lara yang mengumpal namun entah kepada siapa harus dibagi. Sejatinya niat yang diniatkan terkhusus kepada Pemerintah hanya sekadar bayangan semu. Seandainya saja kejujuran adalah tiang dari segala asa maka di dunia ini tidak ada lagi rasa kecewa dan dikecewakan.

Berhembus dalam dada kian mendera. Berat, sesak, dan penat menyerbu tanpa jeda silih berganti ingin menjadi sosok pemenang. Yup, sebuah hakikat kemenangan untuk kepentingan pribadi sahaja sedangkan nasib rakyat jelata ditumbalkan tanpa belas kasih.
Miris bukan?. Sekali lagi, Jika kepercayaan itu di pasak secara paksa maka rasa-rasanya seperti berjalan di atas duri bahkan jauh lebih naas.

Tak mengherankan apabila elemen penting dalam penopang bangsa ini telah menyatakan sikap sejak dini bahwasanya mereka enggan menyatukan rasa kepercayaan kepada pemerintah beserta para kolega.
Apakah ini bentuk kekecewaan atau perlawanan dari kaum muda?. Entah, mungkin lebih baik jika ferguso saja yang menjawab ketimpangan ini daripada rakyat jelata yang memaparkan secara runut nan tuntas.

Tirai kebenaran mulai membias dipelupuk mata tapi apa daya ketika negeri ini hanya dipenuhi oleh kubangan air mata. Sesuatu yang diyakini dengan penuh harap hingga dijadikan sebagai perisai (Hero) kini malah bermain api dibalik layar dan kemungkinan besar ada sekelumit pinta yang ditagih saat ini; Selembar kertas bernilai.

Berbagi potongan kue adalah hasil jerih payah akan kemuslihatan tetapi jika keadaan telah berbalik seutuhnya (menyajikan) maka itu adalah bencana besar. Dalam dunia permainan akan ada aturan yang harus disepakati oleh lawan bahkan sejawat sekalipun. Aturan tetaplah aturan namun aturan itu akan melunak dengan tendensi yang menekan.

Cobalah menelisik dan merenung kembali kebeberapa dekade yang tayang di salah satu stasiun tv. Sebut saja dia “Bang Napi” yang mendalihkan kata ke dalam kalimat singkat tapi selalu terngiang-ngiang sampai sekarang yakni ada dua hal yang selalu diucapkan. Pertama, nasihat “Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat dari pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan!”
Lalu, kedua ditutup dengan dua kata penting: “Waspadalah! Waspadalah!”

Percayalah, suatu hari rakyat jelata akan bertransformasi menjadi kaum sinisisme. Kebahagian dari mereka bukan lagi prihal jabatan, tahta, bahkan persoalan kertas yang bernilai tetapi bentuk kebahagian yang dicatumkan ialah kesederhanaan abadi yang tak mampu lagi direnggut ataupun dijarah oleh siapapun bahkan para penguasa sekalipun.

Istirahatlah sejenak sebab rasa lelah tak memandang kasta. Entah itu kalangan atas ataupun kalangan bawah. Lebih baik, duduklah di bibir pantai lalu perhatikan langit jingga. Sebab, senja tahu kepada siapa ia akan menari dan kepada siapa ia akan menolak. Cobalah sekali saja untuk merasai bagaimana senja memeluk sebagai sore yang sederhana dengan kilau indahnya ketimbang bergulat peluh dengan kebusukan yang kau anggap baik.

Para Sufi pernah berkata bahwa Dunia ini telah menyediakan apa yang dibutuhkan oleh manusia tetapi tidak untuk manusia yang penuh dengan keserakahan. Baiklah, percaya tidak percaya maka argument ini akan dikecam dan ditenggelamkan oleh penikmat Kapitalism sebab keserakahan mereka adalah salah satu varian kebahagiaan. Mengapa demikian? Sebab, ada banyak misi dan konspirasi yang harus dilaksanakan tepat waktu. Mungkin saja.

Falsafah dari leluhur bangsa ini disebut sebagai Tridaya yakni Cipta, Rasa, dan Karsa. Kata-kata ini akrab di telinga masyarakat pribumi karena dilandasi oleh keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Sejatinya tridaya telah dilukai oleh sebagian manusia yang sangat apatis akan kemakmuran dan kebahagiaan. kini hanya tinggal kata yang tak bermakna dan usang dipermainkan oleh keadaan. Sudah saatnya untuk menanamkan dalam hati agar dijauhkan sebagai manusia satu-satunya mahluk bumi yang menebang pohon dan membuat kertas lalu menuliskan kata mahligai di atas kertas “Selamatkan Pohon”.

Simbol perlawanan independensi terhadap sistem global yang zalim telah dikobarkan sejak awal kebangkitan di tahun 1945 dan 2005. kini sudah saatnya menyatukan satu suara nan tindakan pada keadaan yang seakan-akan ingin menggiring ke tempat pejagalan. Biasanya, orang-orang akan tetap menderita karena mereka tidak cukup berani untuk bergerak dan Semua yang berpikir realistis nan logis tentu akan melakukan suatu gelaran diawal.

Secara nalar dan perseptif ini bukan alasan belaka. Namun, bagi kaum yang tertindas diambang kehancuran maka suatu keharusan untuk memiliki kemampuaan agar bisa berlari dari lembah kepahitan adalah bentuk penolakan secara masif.

Aku, kamu, serta kalian telah memilih hidup bukan mati dan bukan pula sebagai domba yang ingin dibantai secara dungu. Bergabunglah, bersatulah, dan meleburlah ke dalam satu hakikat yakni kebenaran di atas segalanya.

Penulis : Wardiman
( Dewan Pembina IMPERA )

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *