Perempuan Jalang Bersuara atas Derita dari Sistem Patriarki Bergaya Neolib dan Hukum Moral

568

SULSELBERITA.COM – Eros telah terkubur dalam kesunyian derita terbawa dan hanyut bersama para pencuri kemaluan, cinta kini tak bernilai lagi. Eros seharusnya malu sebab ia tak lagi mampu melayangkan racunnya
kepada sepasang manusia. Hasrat yang kian membutakan dan mengontrol dimana cinta tak lagi dipandang perlu. Manusia tergiur oleh nikmatnya surga hingga mencapai klimaks lalu pergi meninggalkan dan mencari bunga yang baru.

Bunga baru yang sering di cari ialah perempuan, perempuan sebagai pelambangan sebuah kesucian sehingga hal hal yang mampu merusak kesucian adalah haram bagi perempuan, hal haram tersebut dinamakan moralitas. Moralitas kini dijadikan sebuah alat untuk menindas kaum perempuan dimana sosial melihat perempuan itu jalang apabila merayu banyak laki laki tapi keadaan berbalik ketika laki laki merayu banyak perempuan dan dikatakan macho, konstruk sosial kita sakit apalagi sistem patriarki yang kemudian mengakar dan telah menjadi daging di kehidupan sosial kita.

Advertisement

Perempuan selalu dibebankan dengan ungkapan brutal yang menyatakan bahwa “seorang perempuan harus pintar masak biar suami betah dirumah” serta berbagai ungkapan seksis yang selalu menekankan perempuan sebagai objek eksploitasi dan subjek pelayanan.

Saya tak ingin jauh berbicara persoalan kesetaraan dalam ranah pendidikan dan politik sebab ada hal yang lebih urgent seringkali terjadi dilingkungan sosial kita yaitu konstruk sosial yang terbangun.

Misalnya candaan candaan seksis senior kepada junior junior perempuan nya membuat perempuan semakin jauh jatuh kedalam jurang penderitaan. Parahnya, tak hanya laki laki yang melanggengkan sistem patriarki tapi perempuan minim intelektual cenderung mencerca satu sama lain seperti perihal perselingkuhan dalam hubungan perempuan perempuan selalu menyalahkan perempuan yang satu sebab mereka dicap perempuan gatal sehingga sang lelaki nya jatuh kepadanya.

Bukannya kita seharusnya tidak menyalahkan gender tapi bertindak lebih logis jika suatu permasalahan muncul. Di Indonesia, seorang feminisme yang namanya begitu nyentrik ialah sosok R.A Kartini tapi kali ini saya tak ingin menyebut Radeng Ajeng sebab beliau menolak adanya kelas kelas sosial yang terbangun sebab dengan adanya kelas kelas sosial maka akan timbul dominasi dan akan terjadi minimnya keadilan dan suatu hari ia pernah berharap bahwa ia lebih baik tidak lahir menjadi seorang Radeng Ajeng.

Jauh setelah era Kartini, lahir seorang Marsinah yang hingga saat ini kematiannya yang begitu brutal terhadapnya dan masih terbungkam tak ada tanda keadilan setelah kematian beliau. Marsinah ialah buruh perempuan yang menggencarkan perlawanan atas tuntutan tuntutan seperti jam kerja hingga cuti hamil sampai aparat turun tangan atas aksi yang di gencarkan oleh Marsinah dan kaum buruh lainnya.

Sayangnya, hingga akhir hayatnya ia dibunuh dan di perkosa tanpa ada keadilan dan pelaku hidup tentram menikmati bunga bangkai yang ia tanam. Indonesia tampaknya tak pernah bercermin pada masa lalu dari kisah Marsinah sebab masih ada kasus di era digital yang semakin meraup keuntungan bergaya neolib dan inilah musuh besar bagi kaum feminisme bahwa bukan laki laki tapi sistem yang memperbudak dan mengeksploitasi yang mendominasi dan perempuan selalu menjadi kaum tertindas akibat sistem.

Kaum perempuan seharusnya tak lagi menjadi the second sex atau rekonstruksi dari laki laki. Juga sudah tak seharusnya lagi perempuan dirundung oleh hukum moral bahwa perempuan harus terlihat layaknya bunga yang tidak harus di rusak seperti kesucian yang di ukur dari kulit tipis seperti tissue di lubang vagina perempuan hingga menjijikan bagi mereka jika melihat perempuan yang merokok sebab mereka di cap perempuan nakal.

Terlihat bahwa laki laki adalah pemegang kekuasaan dan pemegang kebebasan. Bukannya perempuan juga dapat bertindak seperti yang laki laki lakukan tanpa takut hukum moral serta hina nya perempuan dimata lingkungan karena mereka tak diberikan ruang kebebasan di publik seperti ada mesin raksasa yang mengontrol kehidupan mereka agar terlihat baik di depan umum.

Tanggungan stigma sosial begitu menjenuhkan, beritahu saya dimana dimuka bumi ini perempuan dapat dengan bebasnya mengekspresikan diri mereka dan merasa aman dengan apa yang mereka lakukan tanpa harus takut cercaan publik melayang kepada mereka.

Seharusnya kita memberikan ruang kepada perempuan untuk dapat menyentuh kebebasan yang dapat dirasakan oleh laki laki dan tidak lagi adanya tanggungan penglabelan “perempuan nakal” .

Seperti yang dikatakan oleh Mikhail Bakunin, saya akan merasa bebas apabila orang lain merasa bebas seperti yang saya rasakan. Untuk puan yang merdeka, hancurkan dominasi dan kontrol, kau layak bebas mengekspresikan dirimu tanpa takut stigma dan moralitas yang terbangun sebab puan juga manusia seperti kaum laki laki dan kaum kaya.

#HidupPerempuanYangMelawan
#PanjangUmurHalHalYangBaik

Penulis :  Farda Nur Rahmani F.
(Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Makassar)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*