Budi Utomo, Soekarno & Hari Kebangkitan Nasional

314

SULSELBERITA.COM. “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa.” (Pramoedya Ananta Toer)”

Tidak terasa sudah 112 tahun sejak didirikan sebuah organisasi  bernama Budi Utomo yang menjadi cikal bakal diperingatinya Hari Kebangkitan Nasional. Organsasi yang dinaungi oleh Dr. Soetomo dan dibantu oleh para mahasiswa STOVIA ini berdiri pada 20 Mei 1908, menandai awal perjuangan para pemuda  Indonesia untuk menjadi negara yang bebas dari belenggu penjajahan.

Advertisement

Sedikit membahas sejarah berdirinya Budi Utomo. Organisasi ini lahir atas kesadaran dari begitu pentingnya persatuan. Di tangan Dr. Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, dan lainnya, Budi Utomo berhasil menjadi organisasi penggerak rakyat yang menanamkan semangat nasionalisme.

Meski di awal berdirinya mengalami keterbatasan ruang gerak, Budi Utomo hanya bisa berjalan di bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya saja. Begitupun anggotanya hanya berada di lingkup para priyai suku Jawa dan Madura. Baru pada tahun 1915, Budi Utomo berani terjun di bidang politik, sejalan dengan berlangsungnya perang dunia pertama.

Pada saat itu pemerintah kolonial membentuk milisi Bumiputera, yang berisi warga pribumi dengan pelatihan wajib militer. Namun, dengan cepat Budi Utomo langsung bergerak dengan memberikan syarat pada pemerintah kolonial untuk membentuk  Volksraad atau lembaga perwakilan rakyat, dan tanpa diduga, syarat itu diamini oleh pemerintah kolonial. Volksraad pun terbentuk pada tanggal 18 Mei 1918.

Di sini Budi Utomo menyadari pentingnya peran rakyat dalam sebuah organisasi. Sehingga dibuka penerimaan anggota secara bebas alias dibolehkan untuk masyarakat biasa. Dengan begitu, Budi Utomo semakin kuat dan mantap dalam mengusung serta menjalankan semangat nasionalisme. Tanpa ada sekat antara priyai maupun masyarakat biasa.

Lantas pada tahun 1948, Presiden Sukarno menyelenggarakan perayaan Hari Kebangkitan Nasional dan menunjuk Ki Hajar Dewantara sebagai ketua penyelenggara. Presiden Sukarno saat itu menggali kembali sejarah, melihat bagaimana peran Budi Utomo yang berjuang menyadarkan masyarakat  Indonesia tentang pentingnya semangat persatuan dan kesatuan. Karena pada zaman itu para pemuda masih berjuang dengan semangat kedaerahannya.

Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata bukan Presiden Sukarno yang pertama kali berucap bahwa tanggal 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Ada nama Suwardi Suryaningrat  atau biasa dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, beliau dalam masa pembuangannya di Belanda menulis sebuah artikel di Nederlandsch-Indie Oud & Niew terbitan tahun ketiga.

Di awal artikelnya, Suwardi menulis: “Tanpa ragu kini saya berani menyatakan bahwa tanggal 20 Mei adalah Hari Indisch-nationaal (Indisch-nationale dag)” atau dalam Bahasa Indonesia berarti Hari Kebangkitan Nasional–dikutip dari Tribun Jatim.

Ini hanya sebagai pengingat dan asupan sejarah yang sepertinya banyak dari kita sudah mulai memudarkan rasa kesatuan, persatuan, dan kebhinekaan. Dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia seperti sekarang yang mudah tersulut isu-isu sensitif, perayaan Hari Kebangkitan Nasional ini kiranya harus menjadi momen yang tepat dalam mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan tanpa melihat asal daerah, ras, agama, dan suku. Mempelajari kembali sejarah perjuangan para pendahulu yang telah berkorban jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa ini.

Kita tidak bisa menghindari perkembangan zaman, semisal meluasnya ranah media sosial, patutnya disambut dengan pikiran yang positif. Walaupun tidak bisa dipungkiri, sejalan dengan itu bermacam konten negatif ikut tersebar lebih cepat. Tapi, bukan berarti kita harus duduk manis membiarkan konten-konten negatif tumbuh subur, dimulai dengan pengenalan penggunaan internet dan lebih khususnya media sosial yang baik, semisal obrolan ringan di tongkrongan, saat kumpul keluarga, atau hal lainnya.

Jangan sampai gara-gara bebasnya berucap di internet, kita menjadi manusia yang arogan, merasa menang sendiri, dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Kembali pada fitrahnya kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya, suku, ras, serta agama, mari kembali kaji diri untuk menjadi Indonesia yang damai, tentram dan layak huni bagi “manusia”.

Bukankah rasa mie dalam mangkuk akan hambar jika tidak ada tambahan bermacam bumbu rempah didalamnya? Nah maka dari itu, keragaman yang ada di negeri ini haruslah dijaga oleh kita semua tanpa terkecuali.

Disisi lain, Proklamator kalian yakni Bung Karno, bahwa kemerdekaan adalah ‘jembatan emas’ apa maknanya? Apa hikmahnya?. Yah, imajinasi kita tentang jembatan adalah penyeberangan, adalah penghubung, adalah titian. Dengan analogi itu kemerdekaan diandaikan penghubung, titian bahkan penyebrangan sekaligus untuk memungkinkan perpindahan kita dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Dalam hal demikian, kemerdekaan  kita berpindah dari alam kolonialisme ke alam merdeka perbudakan. Tetapi makna kemerdekaan sebagai jembatan emas punya makna filosofis yang lebih dari sekedar penghubung, penyeberangan, dan titian.

Dalam risalahnya yang terkenal “Mencapai Indonesia Merdeka” Soekarno menggambarkan jembatan emas itu sebagai sebuah ‘kemungkinan’ bahkan sebuah ‘ketidakpastian’. Yah, pertanyaan muncul lagi, kenapa demikian? Soekarno mengatakan, di seberang jembatan itu jalan terbagi atas dua rute.

Satu ke dunia ‘Keselamatan Marhaen’ dan satunya ke dunia ‘Kesengsaran Marhaen’ atau dalam bahasanya ‘Menuju dunia sama rata, sama rasa atau menuju dunia sama ratap, sama nangis’. Berbekal pengalaman di Revolusi Perancis pada abad ke–18 memang berhasil meluluhlantakkan, meleburkan bahkan menghancurkan kekuasaan feodalisme. Namun, Pada akhirnya kaum borjuislah yang memegang roda kemenangan.

Di bawah roda borjuislah kendaraan kereta kemenangan beratus tahun itu menuju dalam dunia kapitalistik. Nasib rakyat jelata bahkan buruh dan petani pun tidak lebih baik. Tetap hidup dalam nestapa akibat penindasan oleh kapitalis. Mereka hanyalah budak yang berganti tuan dari feodalisme yang sudah habis masanya ke kapitalisme yang sampai sekarang mengangkangi negara.

Padahal sebelumnya rakyat jelata yang hanyalah budak yang ada saat itu memiliki andil besar dalam pelengseran kekuasan feodal. Bahkan jika tidak adanya keterlibatan rakyat jelata perjuangan kaum Borjuis melawan kekuasan Feodal tidaklah akan meraih kemenangan.

Memanfaatkan rakyat jelata tidaklah mudah, mengapa saya katakan demikian? sebab kaum borjuis dalam memikat rakyat jelata memproklamirkan slogan setinggi langit, liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan fraternite(persaudaraan) yang tidak mungkin didapatkan pada saat itu.

Inilah yang disebut ‘jalan kesengsaraan’ itu. Soekarno tidak menginginkannya terulang dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno tidak ingin rakyat Indonesia menjadi ‘pengupas nangka’ dan hanya terkena getahnya, sementara nangkanya sendiri disantap oleh kaum borjuis nan ningrat itu.

Lantas, bagaimana “jalan keselamatan”. Perwujudan seperti apakah itu? Soekarno menjawab itu dengan konsepsi politik Soekarno yang disebut sosio-demokrasi.

Sosio-demokrasi yakni antitesa ‘democratic of parlementer’ atas dasar revolusi Perancis. Ia mengatakan demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, tidak untuk kebebasan lapangan ekonomi. Dengan itu, kendati ruang politik kaum Marhaen leluasa bahkan berkesempatan memilih dan dipilih dalam pemilu. Bahkan bisa menjatuhkan Presiden dan jajaran Menteri tetapi dalam konsepsi perekonomian mereka tetaplah Istiqomah dalam penghambaannya.

Penghidupan ditentukan oleh tuannya, bahkan bisa saja dilengserkan kapan saja oleh tuannya atau dalam bahasa kekinian ‘tuannya tidak mood’. Oleh karena itu Soekarno menyebut demokrasi Parlementer sebagai demokrasi borjuis. Konsep Soekarno dengan sosio-demokrasi berusaha menutup cacatnya demokrasi borjuis, dengan gagasan politik menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Di sini, Marhaen bukan hanya pemegang kursi kekuasan politik tetapi juga bergerak massif di lapangan ekonomi melalui pola kepemilikan sosial. Di dalam politik rakyat jelata sekalipun bisa menjadi pengendali jalannya kekuasan, semua urusan mensyaratkan partisipasi rakyat, baik Parpol (Partai Politik) maupun organisasi kemasyarakatan.

Dalam ekonomi, semangat atas dasar Pasal 33 UUD 1945. Dalam demokrasi politik, rakyat menjadi pengendali jalannya kekuasaan. Semua urusan yang menyangkut kepentingan bersama seperti politik, ekonomi, pendidikan, kesenian, dan lain-lain, menjadi urusan rakyat.

Ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat, baik melalui partai politik atau organisasi sosial maupun sebagai individu, dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama. Dalam demokrasi ekonomi, semangatnya adalah pemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi.

Spirit ini ada di dalam Pasal 33 UUD 1945. Tidak adanya lagi kepemilikan alat produksi di tangan segelintir orang, yakni kaum borjuis. Sementara rakyat banyak dipaksa menjadi buruh upahan. Sosio-demokrasi memposisikan rakyat jelata sebagai pemegang roda kereta kemerdekaan. Dan sosio-demokrasi melalui kesetaraan di lapangan politik dan ekonomi akan membuka sangat lebar jalan menuju, dunia sama rata-sama rasa.

Sangat disayangkan, penyelenggaran negara selama hampir 75 tahun kemerdekaan dan setiap memperingati kebangkitan nasional, terutama di Orba – Reformasi sekarang bertolak belakang dengan keinginan sang proklamator. Dengan mengadopsi sistem kapitalisme, menjadikan rakyat jelata budak dan pemegang roda kemenangan kembali adalah kaum borjuis.

Sudah menjadi hal lumrah lagi, Di usia kemerdekaan yang sudah hampir 75 tahun bangsa ini bukan mendekati ‘Dunia sama rata-sama rasa’  melainkan merasakan ‘Dunia sama ratap-sama nangis’.

Penulis : A. Wahyu Pratama Hasbi
(Mahasiswa Hukum Tata Negara, UIN Alauddin Makassar)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *