PENDIDIKAN DALAM GENGGAMAN KAPITASLISME

339

SULSELBERITA.COM – Setiap tanggal 2 mei diperingati sebagai hari pendidikan Nasional (Hardiknas). Tidak terlepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Hal ini bertepatan dengan hari lahir Khi Hadjar Dewantara. Khi Hadjar dewantara dianggap sebagai Pahlawan yang sangat berjasa bagi kemajuan Pendidikan di Indonesia. Khi Hadjar Dewantara mendirikan perguruan TamanSIswa yang merupakan sebuah tempat yang memberikan kesempatan bagi penduduk pribumi untuk dapat menikmati pendidikan yang sama dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi. Nawacita pendidikan untuk mencerdaskan manusia, agar tidak dibodohi dan membodohi. Orientasi terletak bagaimana memanusiakan manusia dengan ilmu pengetahuan.
Namun sampai saat ini permasalahan tentang pendidikan masih menjadi diskursus yang selalu hangat diperbincangkan. Persoalan kualitas tenaga pendidik yang dinilai kurang menanamkan pendidikan karakter, tapi hanya diajar untuk menghapal pelajaran bukan memahami. Bukan hanya itu mata pelajaran yang tenaga pendidik ajarkan kepada murid tidak sesuai dengan bidang keilmuan mereka. Fasilitas sarana yang tidak memadai, tidak adanya pemerataan sarana semua dipusatkan di kota sehingga banyak daerah pelosok yang tidak mendapatkan sarana atau fasilitas untuk menunjang proses belajar mereka, hingga biaya pendidikan yang sangat tak masuk akal, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula uang yang harus dibayar. Pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan bangsa tapi menjadi ajang sebuah perdagangan. Masyarakat dengan ekonomi keatas jelas bisa melanjutkan jenjang pendidikan namun bagaimana dengan masyarakat dengan ekonomi rendah?
Padahal jelas dalam konstitusi Negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 pada pasal 31 ayat (1) “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan” untuk menjamin bahwa bahwa setiap warga Negara dapat menunaikan hak mendapat pendidikan tersebut, melalui hasil amandemen UUD 1945 yang ke 4 berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara serta anggaran dan pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”/
Pendidikan merupakan hak asasi manusia, termasuk warga Negara Indonesia. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 31, maka pemerintah wajib hukumnya memfasilitasi hak mendapatkan pendidikan tersebut.
Namun sampai saat ini pendidikan tak ubahnya menjadi barang dagangan yang laris tak kalah dengan bisnis tambang. Terlebih orientasi pendidikan tak lagi melahirkan sosok pemikir, yang menjadi patron, menjadi penggerak dalam melihat persoalan social melainkan menciptakan pekerja yang siap digunakan, dan hasilnya produksi ilmu pengetahuan menjadi bukan kewajiban.
Pendidikan saat ini yang dibaluti wajah kapitalisme sungguhlah tidak bisa diharapkan menjadi pendidikan sebagai mana mestinya. Dalam situasi ini, manusia (mahasiswa) dihadapan pendidikan tidak lebih sebagai tenaga buruh murah yang disiapkan untuk menjadi prajurit agar nantinya memperpanjang napas capital.Tentunya tidak mengherankan jika banyak mahasiswa pada kondisi ini tidak pernah tahu menahu, soal buruh yang dihisap tenaganya, nelayan yang direklamasi pantainya, petani yang dirampas tanahnya, hingga seluruh deretan perampasan ruang hidup yang terjadi dilingkungan sekitar.

Dimasa pandemi covid 19 yang sudah melanda Indonesia sejak pertengahan bulan maret 2020 yang mengharuskan semua sekolah, mulai TK-SMA terlebih perguruan Tinggi diliburkan untuk memutus rantai penyebaran covid tersebut. Namun yang menjadi persoalan adalah banyaknya Siswa dan mahasiswa yang harus belajar dirumah dengan memakai system online. Dan ternyata kurang efektif. Melihat kondisi mahasiswa dengan perekonomian yang tidak sama, Pasalnya bukan hanya tidak mampu membeli paket data namun banyak siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki Handphone. Pemberian materi dari system online ini juga kurang efektif dimana seorang tenaga pendidik atau dosen hanya menyuruh untuk mencatat dan mengerjakan soal tanpa menjelaskan lebih awal materinya. Maka banyaknya mahasiswa yang mengeluh atas kondisi tersebut dan meminta agar diberikan jalar keluar.

Advertisement

Tidak ada pilihan selaian membangun wadah alternative, melibatkan diri pada lingkaran diskusi diluar dari pendidikan formal saat ini, memperkuat bacaan dan sebagainya. Kita bangun persatuan dan menyuarakan Pendidikan Gratis, ilmiah dan demokratis.

Penulis : Mutmainnah Vallejo
(Penggiat literasi )

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *