Kegentingan memaksa atau kepentingan kekuasaan oligarki? (analisis sederhana perpu No. 1 th 2020)

612

SULSELBERITA.COM – Di DPR pasti dipersoalkan secara politik dan di masyarakat akan mengadukan ke MK. Dalam sejarah namanya Perpu tidak ada yang tidak ditentang. Namanya juga Perpu,” itulah kutipan menteri menkopolhukam mahfud md, dalam sesi wawancara di beberapa media. Kata-kata tersebut seolah-olah menjustifikasi adanya ketidak seriusan pemerintah dalam membuat suatu kebijakan lebih tepatnya PERPU (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Lalu apa yang menjadikan kontroversial?

Sekarang mari kita lihat implikasi dari perpu tersebut bukan hanya mengupayakan nilai demokrasi dan penghormatan nilai-nilai HAM serta otokritik bagi lembaga eksekutif (pemerintah) yang mengeluarkannya, justeru akan melemahkan bahkan mendestruktif sekaligus melemahkan bagi Negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Kesewangan inilah memunculkan kekuasaan yang tidak terkendalikan sebab dalam konteks konstitusi Negara kita bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat cheks and balance (pengendalian &keseimbangan) Tentu problem legalitas bukanlah hal yang menjadikan perpu dipandang sebagai suatu hal yang luar biasa dari pemerintah, akan tetapi sejauh mana legitimasi dari kalangan masyarakat luas?
Mengapa perlu perpu?

Advertisement

Pertama; Ancaman krisis semisal terjadi peperangan. Kedua; mengupayakan stabilitas sistem bernegara. Untuk mengetahui bahwa Negara kita pernah mengeluarkan perpu di dalam UUD 1995 yakni pasal 12 konteks kedaruratan ialah dalam keadaan perang, ancaman yang membahayakan Negara (state of war). Presiden jokowi seharusnya sebagai kepala Negara harus mengupayakan akan syarat-syarat bahaya terlebih dahulu akibat pandemi covid 19 yang dirasakan masyarakat baru kemudian menetapkan status kedaruratan. Dalam konteks ini perlu adanya upaya integrasi publik serta partisipasi masyarakat sehingga perpu mampu menjawab hal kegentingan memaksa. Bagi saya,  perpu ini hanya akan menggiring persoalan ekonomi kapitalisme serta investasi oligarki sebab dari terma yang disodorkan hanya dua narasi besar sebagai acuan “ekonomi” dan “keuangan” minim strategi sosial kemanusiaan serta tindakan antisipasi di lapangan.
Jokowi malah mengeluarkan status darurat sipil seperti yang telah sempat terwacanakan sebelumnya justeru akan berdampak kriminalisasi kepada masyarakat sipil dan justeru menutup diri dari demokrasi .

Dalam perpu tersebut kalo ditelaah pasal 2 j, kurang lebih “upaya menerbitkan surat utang Negara dengan tujuan untuk dibeli oleh bank Indonesia, BUMN, dan investor. Terlebih hal ini diperkuat pasal selanjutnya dari pasal 2 g, yakni menetapkan sumber-sumber anggaran pembiayaan dari dalam dan luar negeri adalah upaya menghubungkan mata rantai kapitalisme, sebab Negara kemudian hanya pasif dalam mengakomodasi kegentingan ini serta kurangnya pemahaman atas penanganan ekonomi negara.
Tentu ini merupakan upaya Negara ingin mengambil kesempatan kondisi pandemic covid 19. serta membuka ruang sebesar-besarnya bagi investor  tanpa adanya upaya batasan-batasan kongkrit yang mengatur hal tersebut dan justeru akan menghancurkan nilai konstitusi. Perpu dan Negara hukum.
Perpu ini bukan hanya pada konteks kegentingan memaksa sebagaimana putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 dengan alasan kekosongan hukum atau tidak adanya undang-undang yang memadai akan tetapi bagaimana mekanisme prosedural sebab memerlukan waktu yang cukup lama sementara pada saat bersamaan memerlukan kepastian untuk di selesaikan.

Pertama; Salah satu alasan mengapa dalam suatu Negara memiliki hirarki perundang-undangan, agar  memiliki mekanisme proses dan saling bertalian dan cara menentukan isi, tata cara membuat hukum di satu pihak dan lebih penting adalah tata cara melaksanakan hukum yang sudah ditetapkan (substantive due proses of law) itulah asas yang tidak boleh ditinggalkan. Kedua; proses penegakkan hukumnya atau (procedural due of law) tentu sebagian kalangan akademik mengkritisi adanya proses adanya perpu ini sebab menyodorkan pengkajian detail materi-materinya diruang public tidak ada samasekali, terlebih yang mengacaukan ialah ketiadaan naskah akademik disodorkan ke DPR seakan terjadi diskomunikasi politik dari kedua lembaga negara tersebut beralih ke bagian empat di dalam perpu tersebut, upaya pelaksaan program pemulihan ekonomi nasional secara tegas pada pasal 11 pemerintah berdalih penyelamatan ekonomi nasional dengan bahasa melindungi, mempertahankan serta meningkatkan kemampuan ekonomi pada sector rill, namun lagi-lagi upaya memberikan ruang kepada investasi secara terang-terangan oleh pemerintah. Serta sistem pengendaliannya langsung diserahkan ke menteri BUMN pion 4 pasal 11, tentu disini peran menteri BUMN sangat dinanti-nanti oleh para pemodal kapitalis sebab ketiadaan mekanisme atau peraturan untuk membatasi kegiatan mereka adalah makanan empuk sekaligus bersembunyi dibalik adanya PERPU No. 1 2020
lalu siapa yang bertanggungjawab ketika kewenangan dan pelaksaan kebijakan menerbitkan surat utang, pinjaman kepada pihak lain (investor) dalam hal menjamin stabilitas perekonomian ditengah pandemic covid 19? Tentu bukan perkara mudah bagi Negara yang masih pendapatan perkapitanya 4 jt sekian, penganguran masih massif sekaligus predikasi Negara berkembang yang punya banyak hutang bukanlah tindakan mudah bagi bangsa yang masih merangkak. Terlebih ketika dalam bab 5 isi perpu tersebut dalam biaya yang telah dikeluarkan berbagai macam kebijakan seperti bidang, perpajakan, kebijakan belanja Negara termasuk keuangan Negara, pembiayaan, keuangan, dan pemulihan ekonomi nasional yang katanya untuk penyelamatan namun pada saat sama Negara lepas kendali atasnya atau tepatnya tidak bertanggung jawab dengan bahasa bukan kerugian Negara.

Muncul pertanyaan, standar etik konstusional maupun bernegara dalam penaganan semacam ini seperti apa? Sebab poin pentingnya ialah presiden tidak hadir sebagai kepala Negara secara tegas untuk menyikapi ketika terjadi praktek kolusi dari tingkat nasional higga tingkat desa sekaligus untuk memberikan sanki tegas kepada anggota  KSSK (kebijakan stabilitas sistem keuangan).

Penanganan pandemic covid 19 sekaligus legalisasi praktek kebal hukum
Perlu diketahui public dibalik fakta penderitaan akibat pandemic covid 19, negara  tidak serius dalam menerbitkan perpu sekaligus menciptakan susasana ketidakpercayaan warga Negara disebabkan kebijakan tanpa memikirkan asas “modus vivendi” atau cara hidup bersama dalam bernegara, melakukan pencacatan secara konstitusioal. Presiden kemudian soalah-olah memberikan garansi/amnesty kepada anggota dari KSSP beserta perlindungan atasnya adalah suatu kejahatan yang bersifat struktural. Mengutip teks perpu “tidak dapat di tuntut secara baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan itikad baik” tentu menjadi problem ketika hanya memakai prinsip itikad baik, sebab kita bernegara bukan atas dasar mitos melainkan asas legalitas suatu tanda kemunduran ialah apabila praktek semacam ini mengesampingkan asas equality before de law hukum tanpa memandang siapa maupun instasi, sebab hukum sejatinya memiliki prinsip keadilan. Poin penting dari praktek semacam ini pertama; presiden seolah memberikan perlindungan ketika terjadi praktek-praktek korupsi anggota KSSP dilapangan, kedua; otoritas Negara masih dikendalikan investasi, ketiga; Negara tidak lain hanya membuat perpu untuk menguntungkan kapitalisme sekaligus legalisasinya.

Perpu tersebut tidak dapat di gugat dipengadilan manapun termasuk di pengadilan tata usaha Negara tentu akan menimbulkan persoalan bukan hanya pada nilai demokrasi dan HAM tetapi menyudutkan asas non lisensi yakni kebebasan menyampaikan pendapat dalam bentuk tulian, tentu perpu tersebut kebal akan proses yudicial review apalagi mengkritisi dalam hal tulisan rekomendasi ke presiden. Sebab praktek semacam ini dilakukan partai raksasa yang ada di parlemen maupun legislatif dan sudah menjadi kebiasaan dalam percaturan politik di Negara ini sederhananya ”siapa yang punya kendali atas presiden maka memudahkannya membuat aturan-aturan”, meskipun bertentangan pada prinsip bernegara.
Adapun mengalokasikan dana bagi hasil, anggaran tingkat daerah dan desa lalu bagaimana mekanisme secara tegas  dari perpu tersebut. Meskipun secara tegas dalam perpu tersebut pengutamaan penggunaan dana desa dapat digunakan keperluannya antara lain bantuan secara tunai untuk masyarakat miskin di desa dan penganggaran penanganan pandemic covid 19. Tentu pengalokasian anggaran Negara sampai ke daerah lalu daerah menyesuaikan anngaran ke desa-desa Negara harus memastikan tiadanya praktek korupsi di lapangan. Sebab warga Negara adalah pemegang hak (right holder), sementara Negara merupakan pengemban kewajiaban (duty barrier). Negara harus melindungi, menghormati dan memenuhi.

Penulis : M. safali
(Penggiat mahasiswa konstitusi dan hukum (SIMPOSIUM_SULSEL))

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *