SULSELBERITA.COM - Seiring dengan perkembangan global yang makin tidak terbendung, semua negara berlomba-lomba menjadi yang terdepan.
Negara-negara Industri seperti Amerika, Rusia, China berusaha menciptakan teknologi-teknologi mutakhir dan terbarukan yang kemudian dipasarkan kepada negara-negara lainnya dan paling banyak menargetkan pasar kepada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Perkembangan yang kian pesat ini membawa dampak yang sangat positif di satu sisi, sedang di sisi lain membawa pengaruh yang kurang baik terhadap negara yang tidak mampu mengikutinya.
Sebagai salah satu negara berkembang dan bukan negara industri, Indonesia tentu harus siap menghadapi segala bentuk perubahan tersebut. Seperti yang sudah diketahui bahwa Indonesia adalah negara agraris dan bukan negara industri.
Meskipun dalam kenyataannya terjadi pergeseran yang cukup nyata yang bisa kita saksikan saat ini di Indonesia dari negara agraris ke industri. Perubahan yang terjadi di seluruh dunia secara tidak langsung memaksa Indonesia ikut berubah dengan segala konsekuensi dan risikonya.
Perubahan itu terjadi hampir dalam segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia dan salah satu sektor yang paling nyata adalah sektor pertanian. Sektor pertanian menjadi sektor yang terpukul keras akibat arus perubahan dan isu-isu global tersebut.
Pengaruhnya bisa kita lihat dari kondisi petani di Indonesia yang kian hari tetap memprihatinkan. Rendahnya harga jual dan daya beli petani Indonesia menjadi bukti konkret tingginya tingkat kehidupan petani yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Program-program pemerintah seperti penyuluhan, pemberdayaan, pemberian kredit usaha dan permodalan sepertinya belum mampu untuk mendongkrak kondisi kehidupan para petani Indonesia.
Kebijakan Nasional yang tertuang dalam UU No. 32/2004 yang direvisi dari UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah yang dimaksudkan untuk menunjang dan memudahkan kinerja dan birokrasi penyuluh pertanian.
Dengan konsep desentralisasi, diharapkan dapat berdampak banyak. Namun ternyata belum ampuh untuk mendongkrak kemajuan sektor pertanian Indonesia secara signifikan.
Kondisi ini tenyata tidak hanya menekan kehidupan para petani dan justru merembes terhadap rendahnya minat pemuda Indonesia untuk terjun ke dunia pertanian. Rendahnya minat pemuda ini sangat bisa dimaklumi, melihat bagaimana negara memperlakukan para petaninya yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.
Setiap hari ada kurang lebih 267 juta jiwa rakyat Indonesia yang butuh makan dari hasil pertanian. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 pekerja di sektor pertanian tercatat hanya 35,7 juta orang atau 28,79 % dari jumlah penduduk bekerja 124,01 juta jiwa.
Angka ini kembali menurun di mana pada tahun 2017 pekerja di sektor pertanian tercatat 35.9 juta orang.
Komplikasi permasalahan ini membuat regenerasi petani di Indonesia terus mengalami perlambatan setiap tahunnya dan ini menjadi kondisi yang sangat membahayakan bagi negara agraris seperti Indonesia.
Tahun demi tahun, sektor pertanian Indonesia secara terus-menerus didominasi usia lanjut yang sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi produktivitas dan produksi hasil pertanian itu sendiri.
Permasalahan degradasi regenerasi petani ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia jika tidak ingin rakyat Indonesia mengalami kelaparan dan bergantung dengan impor beras dari luar negeri.
Banyaknya permasalahan dalam sektor pertanian membuat sektor pertanian Indonesia bisa dikatakan berada dalam fase sakit komplikasi dan harus segera ditemukan obatnya.
Berkurangnya minta pemuda dalam regenerasi petani Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, akan tetapi ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama seperti, gagalnya pemerintah dalam meningkatkan dan mendongkrak kehidupan petani.
Seperti yang kita lihat, banyak sekali petani indonesia yang hidup kurang mampu dan berada dibawah garis kemiskinan.
Kondisinya pun berlanjut ke keturunan mereka, sehingga banyak dari orang tua yang tidak berharap atau bahkan melarang anaknya untuk terjun di dunia pertanian. Untuk memecahkan permasalahan ini pemerintah sebenarnya memiliki opsi yang sangat banyak.
Dengan banyaknya ahli di dalam birokrasi pemerintahan, baik itu ahli pertanian, ekonomi, kebijakan, tentu akan jauh lebih mudah untuk menyelesaikan masalah ini. Beberapa kebijakan yang bisa dijadikan untuk mengatasi permasalahan ini bisa menggunakan skala prioritas.
Yang paling utama adalah meningkatkan daya jual para petani akan hasil tani mereka sehingga secara otomatis daya beli mereka juga akan meningkat dan membuat kehidupan mereka jauh lebih sejahtera.
Kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung dan menyejahterakan para petani Indonesia dengan mengurangi kegiatan impor hasil pertanian luar negeri.
Memfokuskan pembangunan sektor pertanian mulai dari infrastruktur, permodalan, dan pasar akan menjadi obat yang ampuh untuk menarik minat pemuda Indonesia untuk terjun ke dunia pertanian yang sempat mereka tinggalkan.
Mekanisasi pertanian akan menjadi pendorong utama untuk membantu menyelesaikan kompleksitas permasalahan pertanian Indonesia. Generasi muda yang sering disebut dengan generasi milenial sangat tertarik dengan kemajuan teknologi.
Sehingga mekanisasi pertanian bisa menjadi titik balik lahirnya petani-petani milenial untuk kemajuan sektor pertanian Indonesia ke depan.
Penulis : Rismanto
(Jurusan ilmu politik UIN Alauddin Makassar)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*