COVID-19 Di Lorong Hukum Demokrasi

300

SULSELBERITA.COM – Memasuki awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan hadirnya virus mematikan yang mewabah di Kota Wuhan.  China. Hanya beberapa hari virus ini telah membunuh ratusan jiwa warga Wuhan dan sekitarnya.

Sontak fenomenal tersebut  menyita perhatian publik seluruh dunia. Berbagai elemen masyarakat membahas virus ini. Kepanikan warga dunia semakin nampak ketika virus ini berhasil menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan hadirnya informasi yang disampaikan oleh media, hebatnya lagi proses penularan virus ini yang sangat mudah. Hanya dengan bersentuhan kulit sesama manusia virus ini akan berpindah. Sebaran Virus Corona semakin berbahaya.

Advertisement

Virus Corona tidak lagi disebut wabah, tapi pandemi karena cakupan sebarannya yang mendunia. Infeksi virus ini tidak memandang negara, status sosial dan kondisi fisik.
Virus yang semula berawal dari Wuhan China, menyebar liar ke seluruh pelosok dunia termasuk Indonesia yang awalnya “agak kepedean” tidak mungkin terkena.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui keputusan kepala badan nasional penanggulangan bencana. Selain itu membentuk satuan gugus tugas (satgas) untuk itu. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 10 UU 6/2018.
Kemudian, ada pertimbangan dilakukan lockdown yang dalam istilah regulasi Indonesia lebih dikenal karantina wilayah.

Adapun yang telah jalan, meski tersendat-sendat adalah pembatasan sosial berskala besar. Cirinya tampak pada Pasal 59 ayat (2) UU 6/2018 yakni (a) peliburan sekolah dan tempat kerja, (b) pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Kabarnya berkaca ke pengalaman Wuhan yang cepat pulih karena  pilihan lockdown paling efektif mengatasi pandemik Covid-19 selain rapid test seperti dilakukan Korea Selatan.

Pemerintah dituntut untuk melakukan kajian cepat, tepat dan terukur melalui perspektif multi disiplin. Seperti kesiapan pangan, stabilitas ekonomi, dampak sosial budaya serta keamanan.

Hal ini juga diamanatkan pada Pasal 49 UU 6/2018. Tentu para ahli baik praktisi maupun teoretisi sangat diharapkan kontribusinya dalam memberikan pertimbangan matang agar pemerintah dapat memutus akurat dalam mematahkan lingkaran persebaran pandemik Covid-19.

Pemerintah perlu diapresiasi setiap saat mengumumkan pasien yang positif Covid-19 diikuti dengan peta persebaran.
Ini dapat membantu dalam demokrasi agar warga memiliki kepercayaan pada pemerintah untuk mengatasi Covid-19. Tinggal semangat keberlanjutan transparansi dan akses informasi ini perlu terus dirajut.

Istilah lockdown, social distancing, work from home dan sebagainya, mungkin familiar di kalangan tertentu. Namun, di masyarakat dengan strata sosial yang belum teredukasi, istilah seperti ini tidak akrab.

Sebaiknya gunakan terminologi regulasi. Seperti karantina, pembatasan sosial. Atau diam di rumah untuk mengganti stay at home. Penggunaan istilah ramah publik harus diikuti pula dengan peningkatan eskalasi edukasi maknanya.

Oleh karena itu, sosialisasi, edukasi dan penyuluhan masif dengan memanfaatkan pelbagai wahana, termasuk teknologi digital yang terukur.
ketika pemerintah meliburkan 14 hari bagi sekolah misalnya, ternyata pada awal implementasinya, diterjemahkan lain oleh publik. Padahal peliburan ini untuk mencegah penyebaran wabah, yang seharusnya berdiam di rumah.

Ini harus selalu di diseminasikan agar tidak salah kaprah. Demikian pula partisipasi publik harus terus dibangun. Di publik, mulai korporasi, perguruan tinggi bahkan pemilik warung tegal, secara sangat menyentuh berbagi upaya untuk mengurangi beban sesama yang terdampak dari Covid-19.

Filantropi dari hati rupanya tumbuh mekar terkapitalisasi di saat krisis. Pemerintah, media, masyarakat dan parlemen harus peka krisis. Jangan bising. Saling menyalahkan. Mencari celah kalkulasi modal politik. Sekarang adalah saatnya saling bahu membahu. Hentikan pertikaian.

Demikian pula bagi publik wajib patuh pada pelarangan aktivitas di luar.
Namun, sisi lain, pemerintah perlu memikirkan para pekerja yang tidak dapat bekerja di rumah. Termasuk parlemen baik di pusat maupun daerah harus mengerahkan segenap kapasitasnya untuk mendukung secara kritis semua kebijakan yang dapat menghentikan peredaran wabah Covid-19. Ini ujian besar bagi semua. Kedewasaan berdemokrasi menjadi keniscayaan.

jika pilihannya karantina wilayah, maka penegakan hukum harus tegas. Ini saatnya negara berwibawa. Termasuk pula memastikan lalu lintas hoaks dan informasi menyesatkan dapat segera ditindak. Sebab hal ini makin memperkeruh suasana.

Namun di sisi lain, semua tindakan harus terukur. Termasuk merawat publik untuk selalu optimistis, berpikir positif dan mengambil hikmah dari kasus ini.

jika Indonesia lolos dari Covid-19 maka kita memiliki benefit masa depan. Salah satunya modal sosial kedisiplinan dalam bernegara.
Negara yang dapat pulih dari Covid-19 dipastikan memperoleh pelajaran berharga soal kapan berdiskusi, kapan bertindak dan kapan ekstra patuh pada aturan.

Sekaligus hal ini juga menunjukkan kualitas ganda dari pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin dan rakyatnya akan terlihat mutunya ketika diuji pada masa krisis.

Saatnya, tagline seperti, saya Pancasila, bersama kita bisa atau apa pun pamfletnya, diwujudkan secara nyata, bergotong royong dan terpadu. Manunggal pemerintah dan rakyatnya melawan pandemi Covid-19.

Penulis : Alvian Pratama
(Jurusan Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar sekaligus pengurus KMBPL Departemen Advokasi dan Ham)

*Tulisan tanggungjawab penuh penulis *