SULSELBERITA.COM. Jakarta - Dalam rangka mendengar aspirasi rakyat secara langsung, Yenny Sucipto Bacawali Kota Depok asal PDI Perjuangan rela turun langsung ke masyarakat. Salah satunya adalah turun ke pasar-pasar, perkampungan dan komunitas masyarakat.
Hal ini juga dilakukan perempuan berhijab ini dalam rangka meningkatkan popularitas dan elektabilitas sebagai Bacawali Kota Depok. Selain itu ingin memastikan agar banyak masyarakat yang mengenal sosok dirinya. Baik dari sisi figur, visi-misi perjuangan dan harapannya membangun Depok Baru.
Baru-baru ini Kader PDI Perjuangan yang mengikuti penjaringan Bakal Calon Wali Kota Depok, Yenny Sucipto mendatangi Pasar Kemiri Muka, Kota Depok, Sabtu 22 Februari 2020. Ia mendengar langsung harapan pedagang yang merasa jalanan pasar becek, drainase pembuangan air rusak, sarana parkir kurang, jalanan macet dan sanitasi tidak terawat.
"Aspirasi dan keluhan masyarakat Pasar Kemiri Muka menjadi catatan khusus kalau saya terpilih menjadi Walikota Depok. Pasar ini sudah kurang perhatian sejak 15 tahun lalu. Diharapakan seharus Pemerintah Kota Depok bisa mengatasinya segera," kata Yenny, ditemui saat pertemuan dengan Relawan Solmet di rumah Silvia Labbi, Senin (24/02/2020).
Selain itu juga Yenny Sucipto juga menemui komunutas Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet) Kota Depok. Ia bertatap muka dan berdiskusi tentang perkembangan dan keinginan Kota Depok yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
"Kalau saya terpilih nanti menjadi Walikota Depok, semua penggunaan anggaran APBD dilakukan secara terbuka dan transparan. Semua masyarakat bisa mengakses informasi, sehingga pengusaha lokal bisa melakukan pengenalan, penawaran dan mengikuti lelang secara terbuka," terang Yenny kepada relawan yang hadir.
Selain itu Yenny Sucipto akan meningkatkan aparatur pemerintah agar sumber daya manusia nya mumpuni. Bisa melalui up-grading, bimtek, sekolah khusus dan pelatihan-pelatihan skill dan kecakapan.
"Bagaimana bisa melayani masyarakat kalau, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya tidak paham. Sehingga setiap aparatur memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pelayan masyarakat," ucapnya disambut tempuk tangan relawan yang hadir dipertemuan.
Mendaftarkan Diri Lewat PDIP
Sebagai kader PDI Perjuangan Yenny Sucipto mendaftarkan diri lewat partai moncong putih ini. Ia mengaku optimistis bakal dipilih sebagai calon wali kota Depok dalam ajang pemilu kepala daerah 2020.
"Ibu Megawati Soekarno Putri Ketua Umum PDI Perjuangan pernah bilang bahwa akan menunjuk pemimpin yang memiliki skill di tata pemerintahan. Insya Allah saya yakin, karena saya memiliki itu kapasitas tersebut,” kata Yenny.
Yenny Sucipto juga yakin dan percaya diri berdasar atas militansi dan loyalitas dirinya terhadap masyarakat dan partai. Ia yakin bisa membuatnya terpilih sebagai kandidat oleh PDI Perjuangan. Menurut Yenny, komitmen dan loyalitas dirinya dengan masyarakat dan loyalitas kepada partai politik, bisa menjadi pertimbangan DPP.
“Insya Allah doakan saja. Kami percayakan semuanya kepada DPP PDIP yang pastinya punya kriteria tertentu. Terutama pilihan terbaik, sebagai calon yang akan dipasang di kota Depok,” kata Yenny.
Mengenai hal elektabilitas, Yenny mengaku belum memiliki survei internal. Meski begitu dirinya yakin masyarakat Depok bisa mengenalnya. Sebab katanya, pengusungan dirinya tidak terlepas dari dorongan berbagai lapisan elemen masyarakat di Kota Depok.
“Berkat dukungan masyarakat dan relawan, saya yakin dan optimis elektabilitas bisa terus meningkat,” pungkasnya.
*Profil Singkat Yenny Sucipto*
Berdasarkan data dari wikipedia, Yenny Sucipto atau nama lengkapnya Endah Sricahyani Sucipto lahir di Kediri, 18 Mei 1980; umur 39 tahun adalah aktivis transparansi dan pernah menjadi sekretaris jendral FITRA (Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) untuk periode 2013 – 2018. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (Letraa).
Yenny Sucipto adalah bagian dari 100 tokoh perempuan pemimpin versi HIVOS. Ia juga dikenal sebagai penyusun komik dan buku mengenai transparansi.
Dengan posisinya sebagai Sekjen Fitra, Yenny Sucipto terkenal sering memberikan kritik dan masukan atas transparansi dan efisiensi anggaran. Beberapa di antaranya membuahkan teror, ancaman kriminalisasi, dan pembunuhan. Saat ini ia menjabat sebagai Tenaga Ahli Madya Deputi 2 KSP.
Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Kediri tahun 1999. Pendidikan tingginya ia lalui di Universitas Brawijaya Malang tahun 2003. Ia melanjutkan pendidikan magister di Universitas Indonesia untuk Kajian Gender dan Transformasi Sosial, lulus tahun 2013. Ia juga masih menempuh pendidikan magister Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, Yenny aktif di GMNI. Karena keaktivannya, ia menjadi Pengurus GMNI Komisariat FAPET Universitas Brawijaya Malang, Periode 1999 - 2001, lalu menjadi Pengurus Gmni Komisariat Bersama Universitas Brawijaya Malang, Periode 2000 - 2002. Lebih lanjut ia menjadi Pengurus GmnI Cabang Malang, Periode 2001 - 2003 lalu Pengurus Alumni GmnI, Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi, Periode 2010 - 2012.
Mulai tahun 2004 ia aktif menjadi Pengurus Organisasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, hingga tahun 2018. Ia juga menjai Perwakilan Masyarakat Sipil, Extraktif Industri Transparency Inisiative, Periode 2013 - 2017 dan Steward Member, Global Inisiative Financial Transparency, Periode 2015 - 2018.
Sebagai aktivis, beberapa pernyataan Yenny di publik memunculkan kontroversi. Salah satunya adalah saat ia membantah bahwa pelaksanaan Pilkada tidak langsung oleh DPRD belum tentu menghasilkan efisiensi dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mengurangi beban biaya pilkada terhadap APBD, ia lebih memilih langkah mengoptimalkan jumlah pemilih per TPS, standarisasi unit cost, mengurangi belanja sosialisasi, mengalihkan beban biaya pada APBN bukan APBD, bukan mencabut hak rakyat untuk memilih langsung.
Yenny juga menyatakan kesetujuannya untuk membubarkan 14 lembaga negara yang dianggap tidak menghasilkan dampak positif dan malah membebani APBN, sebab hal tersebut bertentangan dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Penulis: Syafrudin Budiman SIP (Pemerhati Sosial Politik dan Media).