Opini: Covid – 19 Dan Tantangan Perguruan Tinggi Dalam Menciptakan Proses Belajar Ramah Kantong

862

SULSELBERITA.COM. Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru.

Kalau tak ada orang mau membuat kenyataan-kenyataan baru, maka “Kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." (Pramoedya Ananta Toer) Covid - 19 sebagai pandemi global membuat pemerintah harus menciptakan kebijakan yang mempersempit ruang sosialisasi antara masyarakat. Guna mencegah penyebaran covid - 19. Ini kemudian berdampak, kepada seluruh sektor tidak terkecuali sektor pendidikan tinggi.

Mahasiswa selalu dijadikan objek dalam sistem perguruan tinggi. dalam hal setiap kebijakan negara maupun kampus, dan itu harus diterima. Terbukti dari surat edaran Rektor UIN Alauddin Makassar dengan Nomor: B-809/Un06.1/PP.00.09/03/2020 dengan beberapa point yang mengharuskan seluruh aktivitas akademik di laksanakan dengan cara online (daring).

Bukan sebaliknya mahasiswa dilibatkan dalam setiap kebijakan kampus, sehingga jargon demokratis dalam demokrasi tak hanya sebatas jargon. Karena ini menyangkut soal isi kantong mereka.

Disisi lain mahasiswa terkesan legowo dengan surat edaran tersebut. Sebab yang hegemoni yang dibangun oleh narasi Selain upaya terhindar dari COVID-19 ini juga juga menjadi momentum untuk merasakan liburan, berkumpul dengan keluarga, atau merasakan metode baru dalam proses belajar. Tetapi sebagai metode belajar yang baru tentu masih banyak kekurangan yang harus menjadi pertimbangan oleh pemangku kebijakan agar mahasiswa tidak terlalu di rugikan dalam kebijakan ini.

Beban ganda yang harus di tanggung mahasiswa setelah membayar UKT, kembali harus mengeluarkan dana lebih untuk mengakses perkuliahan. Padahal diketahui bersama bahwa kemampuan dari setiap mahasiswa itu berbeda. Dan lebih parahnya lagi ketika mahasiswa yang bersangkutan tidak mempunyai biaya untuk membeli kuota tidak jarang daripada mahasiswa yang dinyatakan tidak hadir atau absen. Hal yang sama juga terjadi pada mahasiswa yang pulang kampung halamannya terkendali di jaringan internet. Dan akumulasi dari semuanya itu Seharusnya ada solusi yang konstruktif sehingga mahasiswa tidak mempunyai beban ganda yang kemudian terbantahkan bagi sisi finansial, psikis dan waktu dari mahasiswa itu sendiri.

Dilihat pula dari sistem kuliah online itu menjadi ajang pemberian tugas kepada mahasiswa, seharusnya ini menjadi bahan pertimbangan dan berdampak pada kondisi psikis mahasiswa sehingga imun mahasiswa menurun dan ini pula menjadi tantangan bagi birokrasi sehingga tidak menciptakan kerugian lebih jauh terhadap mahasiswanya.

Seharusnya negara hadir untuk memberikan keadilan dalam dunia pendidikan dengan menggratiskan selama masa darurat bencana penanggulangan Covid19, dalam hal ini kebijakan untuk kuliah online (daring) negara harus mensubsidi para Mahasiswa di seluruh Indonesia.
Padahal kampus adalah miniatur negara yang dimana mengedepankan nilai keadilan, tapi ibarat panggang jauh dari api, nilai keadilan tersebut hilang dalam konsen kebijakan yang ditelurkan kampus. Dilihat pula dari visi misi UIN alauddin Makassar yaitu menciptakan pusat pencerahan dan transformasi IPTEKS berbasis peradaban islam apakah langkah ini sudah sesuai? Justru jangan sampai menciptakan dekadensi sosial sehingga mencoreng nama baik dari kampus yang ber jargon peradaban itu.

Semoga jargon peradaban yang melekat pada identitas UIN Alauddin Makassar dapat ter implementasikan, bukan hanya sekedar berjargon peradaban.
Akhirul kalam :
Jika memang telinga kampus dan negara tak mampu tampung KRITIK,
Setidaknya para tuan mampu berpikir KRITIS.
Kita sudah KRISIS.

Penulis : Andi Muhammad Syukur, Jurusan perbandingan madzhab dan Hukum UIN Alauddin Makassar

"Tulisan tanggung jawab penuh penulis"