Oleh: Andhika Mappasomba Daeng Mammangka.
SULSELBERITA.COM. - Setiap komunitas yang eksis di muka bumi ini, baik modern maupun primitif, semuanya cenderung bisa dikenali dengan baik dari identitas kebudayaan mereka. Identitas tersebut bahkan, biasanya merupakan hal yang tak bisa dipisahkan dengan keyakinan tertentu dalam masyarakat.
Saya mencoba mengungkap beberapa contoh, identitas-identitas kebudayaan yang kuat dari berbagai wilayah di dunia dan indonesia khususnya. Di negara Brazil, musik Samba yang khas dengan tariannya, telah menjadi identitas yang kuat dan memberikan penanda yang kuat tentang Brazil di mata dunia. Demikian juga dengan arsitektur bangunan di negara-negara Eropa dan negara India. Bahkan, identitas kebudayaan India, dalam seni musik dan gaya berpakaian mereka, telah dinikmati, digunakan bahkan mempengaruhi banyak identitas kebudayaan di banyak negara di dunia. Musik India, bahkan menjadi rujukan sumber inspirasi musik dangdut di Indonesia yang kekuatan penandanya dianggap sama populernya dengan warna musik Country dan tarian Zamba di Brazil.
Di Indonesia, Arsitektur yang oleh banyak kalangan dianggap kuat menjadi identitas bagi masyarakatnya adalah gaya Rumah Gadang Minangkabau di Sumatera dan Rumah Tongkonan di Tanah Toraja. Kedua rumah tersebut bahkan dianggap oleh banyak orang sebagai rumah yang sangat populer dan dinilai tetap lestari dalam masyarakatnya.
Dalam hal pakaian, Indonesia juga sangat kaya. Bahkan setiap komunitas budaya telah memberikan penanda yang tegas sebagai pembeda atas keragaman identitas budaya. Pakaian adat suku Batak, Minang, Bugis, Jawa, Makassar, Maluku dan Papua, dapat diidentifikasi dengan baik.
Saya pernah membaca sebuah catatan bahwa di negara Eropa, bangunan-bangunan tua tetap dipertahankan bahkan, eksistensinya dibuatkan semaca regulasi/aturan bahwa, siapa pun yang menguasai bangunan tua tersebut, bagian depannya tidak boleh diubah seenak hati sebab, bagian depan sebuah rumah/bangunan dianggap sebagai bagian dari ruang sosial, semua masyarakat tidak sepenuhnya berhak mengatur dan menentukan bentuk dan perwajahannya.
Hal tersebut dilakukan karena bagian depan sebuah bangunan menjadi cerminan bagi masyarakat yang menghuni daerah tersebut, sehingga jika ada tamu yang mendatangi wilayah tersebut, apa pun yang menjadi apresiasi tamu yang datang menyaksikan bagian depan bangunan atau rumah mereka, itu berefek pada pencitraan seluruh daerah tersebut. Artinya, masyarakat di wilayah tersebut, terbangun sebuah kesadaran secara kolektif bahwa, wajah kota dan identitas kebudayaan mereka adalah urusan bersama.
Di Sulawesi Selatan belakangan ini, ditemukan beberapa kantor yang setiap pegawai diminta untuk menggunakan seragam adat (semacam Baju Bodo) sehingga, nuansa kulturalnya sangat terasa. Saya melihat bahwa, penggunaan pakaian adat tersebut merupakan sebuah gerakan kesadaran kolektif yang dilakukan dalam rangka hari jadi Sulawesi Selatan.
Realitas pakaian adat dan ulang tahun Sulawesi Selatan tersebut menjadi inspirasi bagi saya untuk menggelitik dan mencoba mengungkap kenyataan yang terjadi di Bulukumba di dalam selebrasi peringatan hari jadi Bulukumba itu sendiri.
Bagi saya pribadi, saya berpendapat bahwa Bulukumba memiliki sebuah identitas yang kuat dalam hal kebudayaan. Dalam arsitektur, Bulukumba memiliki corak atau karakter rumah yang memiliki "Anjong" dengan beragam model dan bentuk ukiran, yang contohnya bisa di lihat pada "bubungan" ujung atap bagian atas Rumah Jabatan dan Kantor Bupati Bulukumba. Pahatan-pahatan Anjong tersebut merupakan penanda budaya yang sangat khas. Namun, di antara semua gedung pemerintah yang ada di Bulukumba, penggunaan Anjong tersebut tidak dilakukan dengan baik. Sehingga, identitas Anjong sebagai Identias kebudayaan sangat tidak eksis di daerahnya sendiri "Bulukumba"
Kerukunan Keluarga Mahasiswa Bulukumba (KKMB) yang pernah melakukan seminar beberapa tahun silam tentang identitas budaya menyimpulkan bahwa, dikhawatirkan, jika tak ada reguliasi, identitas kebudayaan tersebut akan punah.
Kajang yang dianggap sebagai salah satu Identitas Bulukumba, juga sepertinya hanya menjadi sebuah kebanggaan yang dibisukan. Selain tidak adanya usaha transformasi nilai kebijaksanaan hidup Masyarakat Adat Kajang, Identitas mereka juga sepertinya (oleh masyarakat Bulukumba) tidak dianggap sebagai sebuah identitas kebudayaan yang dilestarikan dengan massif. Buktinya, pada lembaga pendidikan formal maupun instansi pemerintah tidak melakukan upaya internalisasi nilai dalam mempertahankan eksistensinya. Nilai kebudayaan Kajang bahkan belum terintegrasi dalam pelajaran di sekolah yang ada di Kajang itu sendiri setidaknya hintta tahun 2017.
"Hanya dipuji tapi tidak dibumikan di buminya sendiri padahal, Kajang adalah identitas Budaya Bulukumba yang kuat dan dapat menjadi aset wisata kultural yang sangat potensial dikembangkan lebih jauh," kata seorang guru matematika yang juga penulis novel asal Bulukumba, Ramli Palammai.
Bahkan, saya pernah mengikuti dan membedah tentang rencana-rencana dan Program pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menemukan bahwa, dinas tersebut tidak memiliki rencana yang paten, matang dan berkelanjutan dalam merevitalisasi dan menggali eksistensi identitas kebudayaan tersebut sebagai potensi lokal yang dapat dikembangakan menjadi khasanah kekayaan kultural. lebih parahnya, saya menemukan kenyataan bahwa, jangankan memiliki Museum sebagai sebuah sentra referensi kebudayaan, Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba pun belum ada dan hanya numpang pada gedung Dinas Kesehatan Bulukumba hingga saat ini, tahun 2017.
Bagi banyak orang yang pernah berkunjung ke Bulukumba dan sempat saya temui, pakaian hitam-hitam seperti yang digunakan oleh Masyarakat Adat Kajang adalah identitas kebudayaan Bulukumba. Bahkan, ada sebuah pengetahuan umum bahwa berpakaian hitam-hitam adalah sebuah seragam yang identik dengan Kajang Bulukumba.
Dalam kenyataannya, walaupun pandangan banyak orang menganggap bahwa Kajang adalah identitas Bulukumba yang kuat namun, Pakaian hitam-hitam ala Masyarakat Adat Kajang, di Bulukumba secara umum, belum dianggap sebagai pakaian adat Bulukumba. Saya pernah mendengar pernyataan seorang budayawan bahwa, identitas kebudayaan bulukumba itu adalah sesuatu yang "ada tapi tiada. Parahnya, pada peringatan hari Sumpah Pemuda 2017 yang mengusung dress code pakaian adat nusantara, tidak satu pun yang mengenakan pakaian adat Kajang tersebut"
Internalisasi nilai yang tiada itulah, dalam pandangan seorang budayawan muda Bulukumba, Anis Kurniawan (Budayawan dan penulis buku Something in Bulukumba), menganggap bahwa, Orang Bulukumba tidak memiliki identitas bersama. Sehingga, muncul egosentris kedaerahan yang membagi Bulukumba menjadi sekat-sekat geografis dan tidak saling mewakili antara satu sekat geografis dengan sekat geografis yang lainnya. dari pernyataan tersebut,saya menemukan bahwa, masyarakat yang berbahasa Konjo dan berbahasa Bugis di Bulukumba tidak merasa saling memiliki dan mewakili secara chemistry. Bahkan, saya juga menemukan, ada kelompok-kelompok muda dalam masyarakat Bulukumba yang merasa malu untuk menggunakan bahasa mereka dalam berkomunikasi di ruang publik, karena merasa dianggap tidak modern dan merasa malu mengakui bahwa mereka adalah masyarakat penutur Bahasa Konjo. Padahal, bahasa tersebut adalah merupakan identitas Bulukumba yang juga sangat kuat walaupun dalam sejarahnya, belum ada karya "Sastra" yang massif yang dibuat oleh penuturnya sendiri (selain buku puisi berbahasa Konjo berjudul Jeraq Pangnguqrangi karya Andhika DM dan H. Kamiluddin Daeng Malewa, terbit tahun 2011).
Dalam catatan pengetahuan saya, di Sulawesi Selatan ini, ada tiga identitas budaya dalam hal pakaian yang kuat yakni, Pakaian adat Bugis dan Makassar, pakaian adat masyarakat Toraja, dan pakaian adat Masyarakat Adat Kajang. Hal itu menjadi dasar sehingga saya ingin menyumbangkan ide bagi Bulukumba bahwa sebaiknya, identitas budaya Bulukumba dalam hal pakaian dapat dibuatkan semacam regulasi atas penggunaannya dalam kehidupan sosial di Bulukumba. Dengan demikian, Bulukumba dapat semakin mempertegas identitasnya dalam pertarungan identitas kebudayaan global. Dikhawatirkan, suatu hari kelak, Bulukumba akan mengalami keruntuhan identitas atas gempuran budaya global yang sangat massif dikampanyekan oleh media yang kini nyaris telah tanpa batas.
Hal lain yang mencengangkan adalah, pada bulan Oktober tahun 2017 ada sebuah rilis hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Bahasa Konjo termasuk salah satu bahasa yang terancam punah di Indonesia bersama banyak bahasa lainnya. Harusnya ini tidak terjadi jika saja upaya-upaya yang ril dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat. Akan tetapi, tampaknya, hingga tahun 2017, kita masih selalu menemukan kegiatan lomba menyanyi lagu daerah akan tetapi yang dinyanyikan adalah lagu berbahasa Bugis dan Makassar, bukan lagu berbahasa Konjo.
Selain Pinisi sebagai sebuah karya seni dan capaian peradaban, Apakah Bulukumba sungguh memiliki identitas kebudayaan seperti Eropa, Minangkabau, India, dan sebagainya?
Kita semua merenungi pertanyaan tersebut lalu membuka mata dan berkata, "Iya yah. kita memang.......?”
Andalah yang menjawabnya.
Andhika Mappasomba Daeng Mammangka. Penulis karya sastra dan pemerhati masalah Sosial, Budaya dan Literasi Sulawesi Selatan